Ream’s
is not like dreaming, bukan
pula menjadikan kita Pemimpi belaka, kita bukan hanya berdiam diri dan
berkhayal atau berfantasi ria semata, dalam mimpi ada visi dalam mimpi ada misi,
manusia tanpa mimpi adalah manusia yang hidup akan tetapi hanya ingin menjalani
kehidupan tanpa ada keinginan akan perubahan keadaan yang ingin dia capai.
Manusia
tanpa mimpi adalah manusia pada umumnya, dan lagi-lagi dia pula yang paling
banyak mengisi jumlah penduduk di dunia, manusia tanpa mimpi cenderung adalah
manusia yang memiliki sifat ke-egois-annya yang tinggi, tak ubahnya anak kecil
pada masanya, saya sangat terisnpirasi akan keberhasilan kakak perempuan saya
sendiri, semenjak SMA beliau sangat berkeinginan merasakan bepergian keluar
negeri, bahkan ketika lulus SMA beliau meminta ke orang tua kami untuk
dibuatkan passport, dengan kondisi
ekonomi keluarga yang sederhana, pikiran kedua orang tua kami dan saya pada
waktu itu juga tidak membayangkan akan bisa pergi ke luar negeri, tapi apa
dinyana kurang dari 10 tahun kakak perempuan saya bahkan bisa diterima bekerja
di luar negeri, walau sekarang beliau sudah menjadi ibu rumah tangga, dengan
niat mulia beliau yang ingin menyekolahkan adik-adiknya hingga tamat kuliah,
beliau tetap bisa bekerja dan membantu ekonomi keluarga, bahkan Allah
menganugerahkan seorang suami yang akan menjadi pendamping beliau seumur hidup
seorang laki-laki yang tidak hanya rupawan namun juga baik hati dan
bertanggungjawab, semakin percaya akan kalimat-kalimatullah yang telah Allah
janjikan, ketika bahwasanya “kebaikan yang kita lakukan, sesungguhnya adalah
untuk kita sendiri, dan keburukan yang kita lakukan adalah untuk kita sendiri”.
Seseorang
tanpa Mimpi akan menerima atau “pasrah” akan keadaan yang mereka alami, hal ini
menjadi pengalaman saya sendiri ketika saya sendiri memprotes keadaan Toilet
bagi para Supir Ekspedisi yang mengantarkan air minum kemasan galon, dimana
perusahaan tempat dimana para sopir-sopir ini bekerja bertahun-tahun adalah
sebuah perusahaan asing yang sudah mendunia, ketika itu saya ikut teman satu
kuliah yang kebetulan dia bekerja sebagai supir truk tronton ekspedisi, hampir
seminggu saya mengikutinya, selama itu saya sering diajak masuk ke pabrik,
dimana truk-truk besar mengisi muatan, selama seminggu saya menjalani kehidupan
supir ekspedisi Wonosobo-Cilacap nonstop,
kami Mandi di Pom Bensin, Tidur & istirahat di tempat muat atau mungkin
dalam truk sekalipun, kami turun dari truk hanya pada saat muat atau bongkar
dan mampir di warung untuk makan, kebetulan pada waktu itu di pabrik akan
dilakukan inspeksi oleh perusahaan, karena ada yang melaporkan saya kalau bukan
termasuk pegawai pabrik maupun kernet (helper),
saya tidak di ijinkan untuk masuk ke areal pabrik, praktis saya diturunkan di
tempat antrian truk muat, saya turun, namun “rutinitas” pagi saya memanggil,
sehingga saya ingin pergi ke toilet, teman saya yang supir menunjukkan arah
dimana letak toilet sopir berada, ya sejurus kemudian memang ada disana
bangunan kecil kumuh tanpa cat berada, disana juga ada yang sedang mengantri
menggunakan toilet tersebut, saya lihat dari kejauhan sudah mengira toilet itu
pasti sangat kotor dari bentuknya yang amat sederhana,
Sesampainya
dimuka toilet, saya melihat ada seseorang bapak yang supir juga sedang mandi
dengan berjongkok disana, bapak itu menyuruh saya masuk saja, maklum karena
saya tidak biasa berbagi toilet dengan orang yang belum dikenal bahkan dengan
keluarga saya sekalipun, jadi saya menunggu di muka toilet saja, ketika bapak
itu selesai saya masuk kedalam, sontak saya kaget, kamar mandi pom bensin jauh
lebih bagus dibanding kamar mandi pabrik air minum kemasan terkemuka ini,
didalamnya tidak ada jamban, tidak ada kran atau perlengkapan mandi yang
memadai. Bahkan dekat tempat bapak tadi mandi ada kotoran manusia disana, hanya
ada aliran air bersih yang melewati melalui kali kecil yang dibuat. Dalam hati
saya bilang ini mah kamar mandi hewan, sangat tidak manusiawi, hilang semua
keinginan saya ingin buang hajat, saya kembali ke truk kami, tapi tidak lama
kemudian datang satpam pabrik menghampiri truk kami, dia menyuruh saya untuk
tidak di dalam truk, dan berhubung saya tidak mengenakan seragam, saya disuruh
teman saya menunggu di warung depan pabrik.
Sesampainya
di warung itu, obrolan-obrolan khas supir-supir dimulai, dengan lauk yang
sederhana, akan tetapi kehangatan disana amat terasa, mungkin karena adanya
persamaan nasib diantara sesamanya, mulanya saya hanya menjadi pengamat dan
pendengar bagi mereka, lama-kelamaan ada rasa penasaran yang ingin saya
tanyakan tentang kondisi kamar mandi yang disediakan pabrik untuk mereka.
Mungkin sudah Allah tentukan jalannya, ketika keinginan saya ingin menanyakan
akan hal itu, datang seseorang yang mengajak ngobrol para sopir disitu, dan
kelihatannya pembicaraan mereka langsung berubah dan terlihat mereka menaruh
hormat pada laki-laki tersebut, ternyata tanpa disadari laki-laki paruh baya
itu memilih tempat duduk yang ada di dekat saya, tapi ada hal yang aneh, para
sopir itu tak lama berselang mereka membubarkan diri satu persatu, hanya
tinggal diwarung tersebut saya, bapak paruh baya itu dan satu satpam dengan
petugas cleaning services, entah sapa yang memulai lebih dahulu, saya
menanyakan kondisi kamar mandi yang disediakan oleh pabrik bagi para sopir tadi,
saya jelaskan panjang lebar dengan bahasa yang sangat sederhana tanpa ada
emosi, lalu pada akhirnya saya menanyakan ke mereka, “kenapa ya, Perusahaan
besar seperti ini, tidak cukup uang untuk menyediakan kamar mandi yang layak
bagi para pegawainya, meskipun dalam konteks hukum ketenaga kerjaan, para sopir
ekspedisi bukan bagian dari pegawai perusahaan ini melainkan rekanan perusahaan
yang menyediakan jasa pengantaran.” Dan seolah-olah mereka yang tersisa
diwarung itu seperti membela keadaan pabrik yang seperti itu dan entah mengapa
lalu mereka membawa nama-nama pejabat TNI maupun Polri yang pernah bekerja lalu
keluar hingga mereka berhasil menjabat di kedua instansi pemerintah tersebut
(meski masih pada tingkat Kodim dan Polsek).
Singkat
cerita truk sudah di muat tepat jam 12 malam, kami harus mengantarkan
galon-galon air ini ke gudang di Cilacap pukul 5 pagi atau kami akan
mendapatkan antrian bongkar dibelakang. Dalam perjalanan teman saya bercerita
kalau yang baru saja saya ajak bicara adalah kepala pabrik perusahaan, saya
cuma tertawa kecil karena saya sama sekali tidak menyadarinya, teman saya pada
waktu itu intinya kesal sehingga keesokan harinya, saya tidak diijinkan lagi
ikut dengannya, pada waktu itu mungkin dia takut akan kehilangan pekerjaannya, tapi
entah mengapa seminggu atau kurang dari seminggu kemudian saya diberitahu oleh
teman saya ini kalau pembicaraan saya dengan kepala pabrik membuat dia
memanggil tukang pada hari itu juga untuk segera memperbaiki kamar mandi sopir-sopir
ekspedisi, mendengarnya saya senang sekali, keadaan bertahun-tahun seperti itu
akhirnya berubah, dan kata teman saya ini, sekarang kamar mandi itu jauh sangat
bagus dan bersih, bahkan tempat sholat dan kamar mandi pegawai pabrik juga
dibersihkan dan diperbaiki.
Tapi
ada satu pelajaran yang saya ambil dari sana, mungkin sopir-sopir truk
ekspedisi itu tidak memiliki impian seperti halnya anak-anak mereka, yang
mereka tahu adalah bekerja siang dan malam selama 5 hari dalam sepekan dan
pulang kerumah membawa uang untuk diberikan kepada keluarganya, dengan kondisi
tempat kerja yang seperti itu, tidak sama sekali dipikirkan. Pendidikan tinggi
seseorang seharusnya membuat orang tersebut memiliki Impian yang tinggi pula,
karena mereka ingin merubah keadaam hidup baik dirinya maupun orang-orang
disekelilingnya.
Jadi
percayalah akan mimpi karena mimpi sama sekali berbeda dengan khayalan, mimpi
adalah makanan untuk jiwa yang bekerja dan berkreasi.
Arizma Bayu
Suwito
Anak dari bapak
dan ibunya