STATUS SELAT HORMUZ MENURUT KONVENSI PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT ( United
Nation Convention on The Law of Sea / UNCLOS 1982)
(Studi Terhadap Kasus Ancaman Penguasaan Selat
Hormuz oleh Iran)
ARTIKEL
Diajukan
sebagai prasyarat untuk menyusun Skripsi
pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh
:
Arizma
Bayu Suwito
E1E008041
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
Jl. Prof.
Dr. HR. Boenyamin 708 Telp. (0281) 638339, 621076 Purwokerto 53122
ARTIKEL ILMIAH
1. JUDUL Penelitian : STATUS SELAT HORMUZ MENURUT KONVENSI
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT (United Nation Convention on The Law of Sea / UNCLOS 1982)
2. Pelaksana
Penelitian :
a. Nama : Arizma
Bayu Suwito
b. NIM : EIE008041
c. Angkatan : 2008
d. Jumlah SKS
yang telah diambil : 144
e. Pembimbing
Akademik : Saryono Hanadi, S.H., M.H.
f. Pembimbing
Skripsi I : Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc.
g. Pembimbing
Skripsi II : Aryuni Yuliatiningsih, S.H., M.H.
h. Program
Studi : ILMU HUKUM
i.
Ruang lingkup Bagian : Hukum Internasional
A. Latar Belakang Masalah
Didalam Hubungan Internasional ada kalanya terjadi sengketa
antar negara. Diantaranya adalah Sengketa antar Negara yang memperebutkan
wilayah kedaulatan sering sekali terjadi di dunia, karena adanya perbedaan
kepentingan antar negara[1].
Wilayah kedaulatan suatu Negara pada umumnya terdiri atas wilayah daratan,
ruang udara di atasnya, dan laut serta tanah di bawahnya. Mengenai wilayah laut
telah diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS 1982). Wilayah Laut antara lain terdiri
atas Laut Teritorial, Zona Tambahan dan Selat yang digunakan untuk Pelayaran
Internasional.
Konvensi Hukum Laut ketiga mengeluarkan ketentuan baru
mengenai pengakuan masyarakat internasional tentang pengaturan khusus bagi
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang semula banyak dianut
oleh negara-negara maju yaitu 3 mil laut menjadi 12 mil laut. Menurut Pasal 37
dari bab III Konvensi Hukum Laut 1982 yang dapat dianggap sebagai selat untuk
pelayaran internasional adalah perairan yang menghubungkan satu bagian laut
lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas sedangkan Pasal 38 menetapkan untuk selat-selat yang
memenuhi ketentuan demikian akan berlaku rezim pelayaran yang disebut lintas
transit. Selat yang berada pada laut teritorial dalam Konvensi Hukum Laut
Internasional selanjutnya disebut KHL dimiliki atau berada dalam yurisdiksi negara
pantai dimana selat itu berada, namun luas atau lebar selat yang tidak lebih
dari 12 mil laut, berdampak pula pada pembagian wilayah bagi setiap negara yang
berbatasan langsung dengan selat tersebut, jadi yurisdiksi mutlak suatu negara
yang berbatasan langsung dengan selat tidak dapat diterapkan.
Selat Hormuz secara geografis berada di wilayah 3 Negara
teluk, yakni antara Iran, Oman dan Uni Emirat Arab yang terletak pada garis
26° 58' LU dan 56° BT, dan ke arah
Barat Laut antara 26° 58’ LU
56° BT, hanya memiliki jarak antara garis pantai terluarnya dengan 3
negara tadi kurang dari 12 mil, praktis dalam menentukan laut teritorialnya
harus berbagi dengan Negara tetangganya, dan selat Hormuz menjadi jalur
pelayaran internasional yang memiliki peran penting bagi perekonomian dunia
dikarenakan 35 % minyak dunia melintasi selat ini.
Pada tahun 2012 Pemerintahan Presiden Mahmud Ahmadinejad
mengancam menutup Selat Hormuz jika sanksi Barat diberlakukan.
Pernyataan ini dianggap sangat penting bagi dunia dikarenakan celah sempit yang
berada di selat adalah urat nadi ekonomi dunia, sepertiga pasokan minyak dunia
melewati celah ini, dan ketika selat Hormuz ditutup oleh negara para mullah, yang mendapat dampaknya adalah
seluruh dunia.
Berkaitan dengan
permasalahan tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian yang menitik
beratkan pada aspek normatif dengan judul “STATUS SELAT HORMUZ MENURUT KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM
LAUT (United Nations Convention on the Law of the
Sea / UNCLOS 1982)”. Dengan melakukan Studi
terhadap kasus ancaman Penguasaan Selat Hormuz oleh Iran.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka yang
menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah
ketentuan hukum dari ancaman penutupan selat internasional atas Negara Selat
menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).?
2. Bagaimanakah
Hak Negara-Negara yang berbatasan langsung dengan Selat Hormuz jika Iran
melakukan blokade selat.?
C.
Tujuan
Penelitian
1) Mengetahui
Status kedaulatan atas selat Hormuz menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut 1982.
2) Mengetahui
hak Negara-Negara yang berbatasan langsung dengan Selat Hormuz jika Iran
melakukan blokade selat.
D.
Kegunaan
Penelitian
1)
Kegunaan Penelitian Teoritis
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum Internasional khususnya
mengenai hukum laut.
2)
Kegunaan Penelitian secara Praktis
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, menambah kepustakaan
serta menjadi acuan bagi penelitian yang sejenis.
E.
Metode
Penelitian
1. Metode
Pendekatan : Yuridis Normatif
2. Spesifikasi
Penelitian :
Deskriptif
3. Sumber
Data :
Data Sekunder (bahan hukum
Primer dan bahan hukum sekunder)
4. Metode
Pengumpulan Data : Studi
Kepustakaan atau Studi
Dokumen.
5. Teknik
Penyajian : Teks
Naratif.
6. Analisis
Data : Kualitatif.
F.
Hasil
dan Pembahasan
a.
Ketentuan
hukum dari ancaman penutupan selat internasional atas Negara Selat menurut
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
Sistem
hukum adalah salah satu tatanan kehidupan yang diterapkan dalam masyarakat,
jika sistem hukum tersebut dijalankan di suatu lingkup negara, maka disebut
sebagai sistem hukum nasional. Sebaliknya jika sistem itu berlaku di antara
negara-negara, maka ia disebut sebagai sistem hukum internasional.
Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I)
adalah produk perkembangan Hukum Internasional Neo-Klasik. Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut
PBB II (UNCLOS II). Dalam UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang
lebar laut teritorial maupun zona perikanan sehingga praktek dari negara-
negara pantai pada saat itu masih menggunakan peraturan masing- masing.
Ketidakpastian tentang legalitas hukum
laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu itu yang
mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa
yang mengatur laut tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Pada tahun 1973 dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10
Desember 1982 dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam
bidang Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar
maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)[5].
Konvensi
Hukum Laut mengatur zona-zona yang berlaku di laut antara lain :Wilayah Laut Teritorial
konsep laut teritorial terdapat dalam Pasal 1 :
1)
Kelautan suatu
negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal
suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut
yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial
2)
Kedaulatan ini
meliputi ruang udara diatas laut territorial serta dasar laut dan tanah
dibawahnya.
3)
Kedaulatan atas
laut territorial dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan konvensi ini dan
peraturan hukum internasional lainya.[6]
Pasal 3 KHL mengatur bahwa“Setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hinggal batas
yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan
sesuai dengan konvensi ini”.
Mengenai garis pangkal terdapat garis
pangkal normal dan garis
pangkal lurus, yang merupakan lebar teritorial dan rezim-rezim maritim
yang lainya seperti zona tambahan, landasan kontinen, zona ekonomi eksklusif. Garis pangkal normal ditentukan oleh
pasal 5 KHL yang berisi: garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut
teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana telihat pada
peta skala besar yang resmi diakui oleh negara pantai tersebut.
Sedangkan garis pangkal lurus
diatur oleh Pasal
7 KHL yang menyatakan bahwa penarikan garis lurus pangkal lurus harus pada
lokasi pantai yang menjorok jauh kedalam atau terdapat suatu deretan pulau
panjang didekatnya yang menghubungkan titik-titik yang tepat. Sehingga
terbentang garis lurus. Penarikan garis lurus ini tidak boleh ditarik ke
dan dari elevasi surut kecuali terdapat mercusuar atau
instalasi serupa yang permanen. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus ini
dapat dilakukan berdasarkan kepentingan ekonomi yang dibuktikan dengan praktik
negara yang telah berlangsung lama. Penarikan garis pangkal pantai pangkal
lurus dibatasi dengan tidak boleh memotong laut teritorial negara lain.
Mengenai
penetapan garis pangkal laut yang berbatasan antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
dijelaskan dalam KHL Pasal 15 yang berbunyi: “dalam hal pantai dua negara yang
letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya
berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaiknya antara mereka, untuk menetapkan
batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama
jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pantai pangkal dari mana
lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan diatas
tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain
yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara
menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas”.[7]
Sedangkan
pengaturan selat dalam KHL diberikan rumusan pengertian Selat yakni, diatur
pada Pasal 2 KHL yakni “selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
Penetapan Lebar Laut Teritorial maksimal 12 millaut membawa akibat bahwa
perairan dalam selat yang semula merupakan bagian dari Laut Lepas berubah
menjadi bagian dari laut teritorial negara-negara selat yang mengelilinginya”.
Berarti dalam hal ini selat adalah bagian dari konsepsi laut teritorial, namun
yang membedakannya adalah adanya konsepsi Lintas transit dan Lintas damai dalam
selat.
Pada
bula Juli 2012, Iran mengancam akan menutup selat Hormuz. Mengenai ancaman
penutupan selat internasional oleh suatu negara pernah dilakukan oleh beberapa
negara di dunia, dimana wilayah negaranya berbatasan dengan selat seperti yang
terjadi pada tahun 1950, misalnya, Amerika Serikat memberlakukan
blokade lewat angkatan lautnya di Selat Taiwan. Pada tahun 1956 dan 1967, Mesir membentuk blokade selat terhadap
kapal Israel di Selat Tiran yang menciptakan hukum kontroversial.Pada
tahun 1993, berdasarkan jumlah suara terbanyak, Resolusi Dewan Keamanan PBB dan
Eropa Barat bergabung untuk memaksa diadakannya blokade terhadap laut Adriatik
yang juga termasuk selat Otranto.
Negara lain telah memperkenalkan sebuah peraturan yang membolehkan negaranya
untuk menutup selat sementara waktu, seperti yang telah dilakukan oleh Negara
Turki pada tahun 1994. Aturan menyangkut pembatasan tersebut
telah disetujui oleh Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization
/ IMO) dengan catatan bahwa, penutupan Selat itu
tidak dimaksudkan untuk merugikan hak-hak setiap kapal untuk
menggunakan selat internasional di bawah hukum internasional.
Pada tahun 1997, Pemerintah Italia mendeklarasikan secara De Facto melalui pasukan angkatan lautnya untuk memblokade selat
Otranto, selama pemberontakan bangsa Albania.
Beberapa
bulan terakhir sejak bulan Juli 2012, Iran dan Amerika Serikat saling melempar argument atas inspeksi nuklir dan sanksi
baru yang dijatuhkan oleh barat terhadap Iran.
Sehingga Iran mengancam akan menutup selat Hormuz. Kawasan Timur Tengah adalah pemasok 70 persen kebutuhan energi dunia,
dengan sekitar 35 persen ekspor yang melalui laut, dikirim melintasi celah sempit di Teluk Persia, yang memisahkan Oman dan Iran. Blokade Selat Hormuz akan berakibat fatal bagi ekonomi dunia.
Menurut
KHL, semua kapal menikmati hak lintas transit
yang terus-menerus melalui selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional.
Kapal yang lewat harus melanjutkan "tanpa penundaan melalui
atau di atas selat," dan menahan diri dari ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan dengan selat.
Negara pantai yang berbatasan dengan selat harus menjauhkan
diri dari menghambat transit dan diwajibkan untuk mengungkapkan informasi tentang
kemungkinan ancaman navigasi diselat.
Selain
itu, negara pantai dapat mengadopsi undang-undang dan peraturan berkaitan
dengan transit yang harus dipatuhi kapal-kapal asing, selama batasan-batasan
tersebut tidak diskriminatif dan tidak merugikan hak lintas
transit. Secara keseluruhan, perjalanan transit melalui
selat tidak bisa ditunda.
Iran setelah menandatangani
Konvensi tentang Hukum Laut tahun 1982, kemudian mengajukan deklarasi
interpretatif, yang menjelaskan pemahaman hukum dari ketentuan tertentu
mengenai selat. Dua bagian dari deklarasi tersebut relevan dengan kasus saat
ini yaitu:
Pertama, dari perspektif Iran, hak lintas transit melalui selat internasional
hanya berupa hak quid pro quo. Hanya negara yang telah menandatangani KHL berhak
untuk mendapatkan keuntungan dari hak kontraktual tersebut. kedua, Iran
memandang bahwa hak negara pantai untuk mengadopsi undang-undang dan peraturan
untuk
menjaga kepentingan keamanan juga dapat mencakup persyaratan mengenai
kewenangan terhadap kapal perang. Motivasi di balik deklarasi ganti
rugi Iran didasarkan pada pemahaman tentang Konvensi sebagai satu paket, dimana
hak-hak kebebasan navigasi universal yang seimbang dalam KHL dengan akses istimewa
dari negara-negara pantai terhadap sumber daya laut.
Menurut pandangan
Amerika Serikat menolak setiap pembatasan terhadap hak-hak navigasi
maritim. Ahli hukum AS Michael Reisman pada tahun 1980 mengemukakan
pendapat, bahwa dalam persepsi Amerika Serikat, selat
adalah jalur air internasional, yang tidak dapat dihambat atau ditangguhkan.
Kapal-kapal AS secara
teratur transit di Selat Hormuz di bawah pengawasan kapal patroli Iran dan
kontrol udaranya.Baru pada tanggal 14 Februari 2012, USS Abraham
Lincoln melewati Selat tanpa insiden apapun.
Praktis seperti masalah lain, bahkan
jika satu negara setuju dengan perluasan wilayah perairan Iran, Selat Hormuz
juga menjadi bagian laut teritorial Oman.[26] Oman mendapat tugas alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk
keluar masuk lalu lintas maritim dengan PBB pada tahun 1996.[27]
Dalam kerangka hukum internasional KHL, negara
pantai pada umumnya dapat menghambat kapal memasuki perairan teritorialnya jika
perjalanan mereka merugikan "kedamaian, ketertiban atau keamanan,"
karena mereka tidak lagi dianggap sebagai Lintas Damai.
Meskipun aturan lex specialis dari
hukum internasional yang mengatur tentang selat, KHL menetapkan lintas damai
dan lintas transit tidak dapat di tangguhkan.Memang,
tidak ada negara memiliki kewajiban hukum untuk menerima pembatasan sepihak
yang diberlakukan oleh negara-negara lain, tetapi selat internasional secara
tegas dilindungi dari pembatasan tersebut.
Pada kasus-kasus sebelumnya belum pernah
ada penutupan selat internasional disebabkan oleh sanksi yang dijatuhkan pada
suatu negara. Terlepas dari legalitas sanksi AS-Uni Eropa terhadap Iran, hak
transit yang sangat diperlukan untuk selat internasional tetap sebagai rezim khusus.
Membiarkan penutupan sebuah selat internasional sebagai balasan, akan beresiko
melemahnya hak “nonsuspendable”
lintas transit dan akhirnya menurunkan kebebasan navigasi melalui rute
perdagangan penting, yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan di seluruh
dunia.
Dari
persoalan-persoalan di atas menimbulkan preseden yang buruk hingga kini ketika
suatu Negara mengklaim akan menutup selat yang diperuntukan bagi pelayaran
internasional. Maka dibutuhkan aturan yang jelas menyangkut peraturan
internasional di laut. Perkembangan hukum lingkungan laut internasional tidak
lepas dari teori tentang perlindungan lingkungan laut dalam kerangka hukum
internasional, yang sebenarnya merupakan akumulasi dari The Principle of Nation Sovereignity and The Freedom of The High Sea.
Umumnya, argumentasi yang dikemukakan disini adalah ;
“a right on the part of a state threatened
with environmental injury from sources beyond its territorial jurisdiction, at
least where those sources are located on the high seas, to take reasonable
action to prevent or abate that injury”
Rencana
penutupan selat oleh Pemerintahan Republik Islam Iran pada dasarnya adalah
dibenarkan menurut Konvensi Hukum Laut Pasal 19 ayat 1 – 5, seperti pada Pasal
1 Iran mendapat ancaman oleh Angkatan Laut Amerika melalui Kapal Induk Mereka
USS Stennis yang berlayar menuju selat dan mengganggu latihan militer negaranya
di selat, Pasal 2
Kapal nelayan Iran di tembak oleh kapal Angkatan Laut AS, Rappahonnock hingga
tenggelam jelas disini AS telah melakukan praktek penggunaan senjata mematikan
di wilayah teritori Iran, Pasal 3, Iran telah di mata-matai oleh Amerika dan
sekutunya guna mencari titik-titik vital kelemahan negaranya, Pasal 4 angkatan
laut Amerika berulang kali melakukan latihan militer ataupun menggunakan
kekuatan militernya di Selat.
dan terakhir pada Pasal 5 hal ini jelas dilakukan oleh Amerika di selat.
memberikan landasan hukum bagi suatu negara jika di desak dengan
keadaan-keadaan yang sesuai dengan rumusan tersebut untuk melakukan upaya-upaya
untuk menutup selat.
Pembatasan
menyangkut Pasal 19 terdapat pada Pasal 43 KHL yang isinya berbunyi : “Negara
pemakai dan Negara yang berbatasan dengan selat hendaknya bekerjasama melalui
persetujuan untuk pengadaan dan pemeliharaan di selat sarana bantu navigasi dan
keselamatan yang diperlukan atau pengembangan sarana bantu pelayaran
internasional;dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran
dari kapal.
b.
Hak
Negara-Negara yang berbatasan langsung dengan Selat Hormuz jika Iran melakukan
blokade selat.
Terletak
di antara Oman dan Iran, Selat Hormuz menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk
Oman dan Laut Arab. Hormuz adalah jalur perdagangan minyak terpenting di dunia,
karena 15,5 juta barel minyak melewati selat ini. Di tahun 2009 hampir 33
persen minyak dunia atau 17 persen perdagangan minyak dunia mengalir melalui
selat, didalam perdagangan melalui jalur laut sebagai penghubungnya. Rata-rata,
13 kapal tanker minyak mentah per hari berlalu menuju ke timur melalui Selat
dengan jumlah yang sama dari kapal tanker kosong memasuki arah barat untuk
mengambil kargo baru. Pada titik tersempit, Selat hanya selebar 21 mil, namun
lebar jalur pelayaran di kedua arah hanya dua mil, dipisahkan oleh zona
penyangga dua mil.
Pasal
43 KHL menyatakan bahwa, Negara pemakai dan Negara yang berbatasan dengan selat
hendaknya bekerjasama melalui melalui persetujuan untuk pengadaan dan pemeliharaan
di selat sarana bantu navigasi dan keselamatan yang diperlukan atau
pengembangan sarana bantu pelayaran internasional, dan untuk pencegahan,
pengurangan dan pengendalian pencemaran dari kapal.
Dari
rumusan pasal diatas menunjukkan untuk setiap Negara yang berbatasan dengan
selat internasional berkewajiban membuat suatu kerjasama bilateral ataupun
multilateral jika pemilik selat lebih dari dua Negara seperti halnya pada selat
Malaka yang dimiliki oleh tiga Negara seperti Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Jika dalam kasus selat Hormuz adalah kewajiban bagi kedua Negara selat, Iran
dan Oman untuk membuat suatu perjanjian bilateral dalam menjaga fungsi dari
selat internasional dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Mengingat
zona maritim yang bisa dikuasai oleh suatu negara beragam jenis dan lebarnya,
maka kemungkinan tumpang tindih juga beragam. Jika dua negara berjarak kurang
dari 24 mil laut misalnya maka yang tumpang tindih adalah laut teritorialnya.
Jika jarak keduanya lebih dari 24 mil laut tetapi kurang dari 400 mil laut maka
yang tumpang tindih adalah zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
Maka
dari itu, delimitasi atau pembagian laut juga berbeda-beda. Ada delimitasi laut
teritorial, delimitasi zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Dalam
situasi tertentu, delimitasi bisa dilakukan untuk multi zona. UNCLOS mengatur
masing-masing delimitasi ini dengan ketentuan berbeda. Dengan memahami proses
delimitasi ini, bisa dimengerti bahwa suatu negara seperti Oman memang bisa
menentukan sendiri garis pangkal yang melingkupi wilayahnya tetapi tidak bisa
menentukan sendiri batas-batas kekuasaannya atas laut.
Diperlukan
proses bilateral/multilateral. Karena posisinya, Iran memiliki 3 tetangga yang
dengannya wajib menetapkan batas maritim. Proses ini bisa dengan negoisasi,
mediasi, arbitrasi, atau menyerahkan kepada pengadilan internasional seperti International Court of Justice atau International Tribunal on the Law of the
Sea.
Hak
Negara Iran dalam hal penguasaan selat di derogasi atau dikurangi hanya sebatas
pada wilayah teritorial negaranya saja, yakni sejauh zona laut teritorial dan
zona tambahan sepanjang 24 mil laut, yakni pada celah tersempit selat antara
semenanjung Musandam di Oman dan pulau Lark di Iran hanya berjarak 21 millaut
berdampak tumpang tindihnya zona tambahan, maka seperti yang diutarakan diatas,
proses delimitasi zona tambahan harus dilakukan antara kedua Negara, karena
setiap Negara mempunyai hak kedaulatan sebagai ciri penting terbentuknya suatu
Negara.
Jika
Iran mengabaikan akan hal ini, secara tidak langsung Iran telah mengintervensi
kedaulatan Negara tetangganya, Oman. Hukum internasional pada prinsip umumnya
melarang turut campur urusan Negara lain, bahkan jika benar Iran menutup total
selat ini, berarti Iran telah menginvasi Negara tetangganya, menurut pendapat
Hyde
yang dijelaskan oleh Internasional Court
of Justice pada tahun 1986 pada kasus Nicaragua vs United State of America
campur tangan itu hampir selalu disertai dengan bentuk atau implikasi tindakan
untuk menggangu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan.
Tiap
Negara mempunyai kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan
sifat atau ciri hakiki dari suatu negara, bila dikatakan demikian Negara
berdaulat, maka makna yang terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai
sesuatu kekuasaan tertinggi dan secara de
facto menguasai.
Ruang
berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas-batas wilayah negara tersebut,
artinya suatu negara hanya mempunyai kekuatan tertinggi di dalam batasan
wilayah negaranya saja. Adapun diluar wilayah negaranya, suatu negara tidak
lagi memiliki kedaulatan demikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu :
(1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah negara yang mempunyai kedaulatan
tersebut, dan (2) kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah
suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi
eksklusif ke luar wilayah negara tersebut, yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah
Negara lain. Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif dan penuh
hanya di dalam wilayahnya saja.
Jadi
bagi Negara selat selain Iran yang berada disekitar selat Hormuz memiliki hak
tersebut selama wilayah itu menjadi bagian dari wilayah kedaulatannya menurut
Konvensi Hukum Laut 1982.
G.
Simpulan
dan Saran
1.
Simpulan
1. Pengaturan mengenai selat-selat yang digunakan
pelayaran internasional menurut hukum internasional diatur dalam Konvensi Hukum
Laut Internasional atau UNCLOS 1982 pada Pasal 34-45. Berdasarkan pengaturan
terdapat tiga rezim pada pengaturan selat yaitu hak lintas damai, hak lintas
transit dan hak alur laut kepulauan. Rezim yang diterapkan pada selat Hormuz
telah sesuai dengan hukum internasional yakni innocent passage (lintas damai) dan
transit passage (lintas transit). Penutupan selat
pernah dilakukan oleh beberapa negara di dunia sebelumnya, dan ancaman
penutupan selat Hormuz oleh Iran diperbolehkan karena berdasarkan pada Pasal
19 ayat 2 huruf a sampai dengan e KHL
menyatakan bahwa jika kapal asing yang melintas melakukan tindakan-tindakan
yang mengancam kedaulatan negara pantai, lintas damai dapat ditangguhkan.
2. Hak Iran untuk menutup selat Hormuz secara total
melanggar hak kedaulatan Negara tetangga yakni seperti Oman.
Konvensi Hukum Laut Internasional telah menjadi sumber
hukum internasional dan memiliki kekuatan bagi negara yang meratifikasinya.
Meskipun Negara Republik Islam Iran tidak turut serta dalam konvensi ini, namun
ada kewajiban internsional untuk menghargai kedaulatan suatu negara terhadap
wilayahnya.
2.
Saran
a.
Konvensi Hukum Laut
Internasional dirasa belum cukup menanggulangi preseden-preseden buruk dimasa
lalu menyangkut kasus penutupan selat internasional, sehingga kedepannya
dipastikan akan selalu timbul persoalan-persoalan serupa jika hal ini tidak
diatur secara jelas dan tegas dalam konvensi.
b.
Dua negara
pemilik celah tersempit di Selat Hormuz sebaiknya melakukan kerjasama
delimitasi perbatasan, sehingga kedepannya tidak ada arogansi salah satu pihak
untuk menutup selat secara penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Ariando. Melda Kamil,
2007, Hukum Internasional, Hukum yang Hidup, Diadit Media, Jakarta.
Buana. Mirza Satria,
2007, Hukum International teori dan
praktek, Fakultas Hukum Press, Banjarmasin.
J.G. Starke, 2006, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi Kesepuluh (1), Terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar
Grafika, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum International, PT
Alumni, Bandung.
Karl DeRouen, Jr. & Uk Heo, 2005, See Defense And Security: A Compendium Of National Armed Forces And Security Policies, nn.
SUMBER LAIN
http : / / www. dekin. dkp. go. id. United nations convention on the law of
the sea. (bahasa ingris dan Indonesia). Diunduh tanggal 24-4-2012.
Martin Wählisch, The
Iran-U.S. Dispute, the Strait of Hormuz, and International Law, The Yale
Journal Of International Law Online. Diakses tanggal 23-4-2012.
http : / / treaties. un. org / doc / Publication /
MTDSG / Volume%20II / Chapter %20XXI / XXI-6.en.pdf. Diakses tanggal 23-11-2012.
U.N. Secretary General, Rep. by the
Secretary-General, U.N. Doc. S/7906 (May 26,1967); Letter dated 27 Sept. 1955
from the Permanent Representative of Israel Addressed to the President of the
Security Council, U.N. Doc. S/3442 (Sept. 28, 1955). Di akses
tanggal 23-11-2012.
Charles Ingrao, Western Intervention in Bosnia:
Operation Deliberate Force, in Naval Coalition Warfare, Ps 64, at
172. Di akses tanggal 23-11-2012.
http : / / www. un. org / depts. / los / LEGISLATION
AND TREATIES / PDF FILES / TUR_1994_Regulations.pdf; lihat juga Int’l
Maritime Org., Ships’ Routeing, Res. A.827(19) adopted on 23 November 1995,
Doc. A19/Res.827/Rev.1(Aug.1,1996), lihat
disini http: / / www. imo.
Org / blast / blast Data Helper. asp? data_id=23907 & filename=827-REV1(19).pdf.
untuk lebih detil, lihat Ann
Ellen Danseyar, Legal Status of the Gulf of Aqaba and the Strait of Tiran: From
Customary International Law to the 1979 Egyptian-Israeli Peace Treaty, 5
B.C. INT'L & COMP. L. REV. 127 (1982,) Diakses tanggal 23-10-2012.
U.S. Dep’t Of State, Bureau Of Oceans And Int’l
Envtl. And Sci. Affairs, Limits In The
Seas: IRAN'S MARITIME CLAIMS 26 (1994), tersedia di http : / / www. state. Gov / documents / organization
/ 58228. pdf. Di akses tanggal 28-10-2012.
Mark J. Valencia, Legal Battle over Transiting
the Strait of Hormuz, JAPAN TIMES (Jan.9, 2012), http : / / www. Japan times.
co. Jp / text / eo 2012 01 09 a5. html. Diakses tanggal 28-10-2012.
Kim Young Koo, Transit Passage Regime Controversy
Revisited: An Appraisal and Analysis on the Legal Ambiguities and Recent
Trends, 37 KOREAN J. INT'L L. 79 (1992). Diakses tanggal 28-10-2012.
W. Michael Reisman, The Regime of Straits and
National Security, 74 AM. J. INT’L L.48, 76 (1980). Diakses tanggal
28-10-2012.
TODAY’S ZAMAN, Iranian Boats Shadow US Aircraft
Carrier in Gulf, (Feb. 15, 2012),
http://www.todayszaman.com/news-271494-iranian-boats-shadow-us-aircraft-carrier-ingulf.
html. Diakses tanggal 15-8-2012.
BBC NEWS, USS Abraham Lincoln in Strait of Hormuz
Voyage, (Feb. 14, 2012), http : / / www. bbc. co. Uk / news / world –
middle – east - 17027768. Diakses tanggal 15-8-2012.
Bahman Aghai Diba, Is Iran Legally Permitted To
Close Strait of Hormuz to CountriesThat Impose Sanctions Against Iran’s Oil?,
PAYVAND IRAN NEWS (Dec. 21, 2011), http : / / www. Pay vand. com / news / 11 /
dec / 1216. html. Diakses tanggal 21-10-2012.
Maritime Zone Notifications, Law of the Sea Information Circular, U.N. Div. for Ocean Affairs and
the Law of the Sea, New York, N.Y., May 1990, at 21. Diakses tanggal
23-04-2012.
Standard & Poor’s, Credit Faq: Closing The Strait Of Hormuz: The Risks For
Corporate And Infrastructure Issuers 2 (Feb. 15, 2012), tersedia di http : / / www. The gulf intelligence. Com / uploads /
pdf / Hormutz get PDF do. pdf. Diakses tanggal 23-5-2012.
http : / / www. andriyarusman. Com /
perang-teluk-iran-vs-amerika-sekutu-di-tahun-2012 / # Di akses tanggal
2-11-2012.
Karl
DeRouen, Jr. & Uk Heo, 2005, See Defense
And Security: A Compendium Of National Armed Forces And SecurityPolicies, nn, hal. 152.
Charles
Ingrao, Western Intervention in Bosnia: Operation Deliberate Force, in
Naval Coalition Warfare, Ps 64, at 172. Di akses tanggal 23-11-2012
http : // www.
un. org / depts. / los / LEGISLATION AND TREATIES / PDF FILES /
TUR_1994_Regulations.pdf; lihat juga Int’l Maritime Org., Ships’ Routeing, Res.
A.827(19) adopted on 23 November 1995, Doc. A19/Res.827/Rev.1(Aug.1,1996), lihat disini http: / / www. imo. Org / blast / blastDataHelper.asp?data_id=23907&filename=827-REV1(19).pdf.
untuk lebih detil, lihat Ann
Ellen Danseyar, Legal Status of the Gulf of Aqaba and the Strait of Tiran: From
Customary International Law to the 1979 Egyptian-Israeli Peace Treaty, 5
B.C. INT'L & COMP. L. REV. 127 (1982,) Diakses tanggal 23-10-2012.