Sahabat Pembaca

Monday, February 27, 2012

Wartawan n Kekerasan


v  Pendahuluan
Wartawan sebagai tonggak penting dari sebuah Pemberitaan dalam rangka hak publik mendapatkan informasi yang oleh undang-undang telah dijamin dalan pasal 28 F UUD 45 hasil amandemen yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “.

Maka dengan ini hak masyarakat untuk mendapatkan sebuah pemberitaan telah menjadi suatu hak konstitusional yang dijamin olehnya,media berita baik elektronik maupun cetak adalah sebagai bagian dari wadah publik dalam mencari informasi tentang suatu berita,keberhasilan suatu Negara salah satunya adalah mencerdaskan anak bangsanya, dan ketika media informasi ini tidak dijamin oleh UU dikhawatirkan kedepannya seorang penguasa akan bertindak sewenang-wenang, karena media pula diharapkan juga dapat menjembatani antara Penguasa dan Rakyatnya dan media pula juga dapat berperan sebagai Partner Pemerintah ataupun Pengawas Publik bagi setiap Kebijakan yang dikeluarkan.

Indonesia yang telah mengalami masa-masa sulit bagi sebuah pemberitaan yang benar dan mengkritik terhadap Pemerintah dianggap  Kejahatan seperti yang tertera dalam KUHP pasal 207 dan 208 yang sering kita sebut pasal karet karena cakupan yang luas dan rancu dalam batasan dan penafsirannya,pasal inilah yang sering digunakan oleh Penguasa untuk menjerat para Oposisi atau siapapun yang ingin membenarkan akan kebijakan yang salah oleh penguasa semata-mata karena rasa Cinta Tanah Air dan Kepeduliannya terhadap Negara.
Seorang wartawan pada hakekatnya adalah wakil publik dalam mencari informasi, suatu penikmatan hak untuk tahu (right to know) yang dikenal, diakui, dan dijamin tidak saja sebagai hak konstitusional (constitutional rights) dalam UUD, namun pula sebagai hak asasi manusia (human rights) dalam berbagai deklarasi dan perjanjian internasional hak-hak asasi manusia. Adalah kewajiban negara menurut konstitusi dan hukum internasional untuk melindungi hak ini, perlindungan mana diwujudkan dengan upaya legislasi maupun delegislasi yang ditujukan bagi terpenuhinya hak ini. Dalam konteks hukum media, perlindungan tidak saja diberikan pada jurnalis agar memiliki akses seluas-luasnya untuk mencari informasi, namun pula perlindungan terhadap aktifitasnya dalam rangka mencari informasi itu. Tewasnya seorang wartawan dalam melaksanakan tugas mencari informasi oleh karenanya memiliki dimensi publik: terampasnya hak masyarakat untuk tahu.



Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa perlindungan hukum dimaksud adalah jaminan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Namun demikian, pasal tersebut tidaklah fungsional, dan hanya berfungsi dekoratif belaka. Dikatakan demikian, karena bahkan UU Pers sekalipun tak memberikan perlindungan hukum yang adekwat kepada profesi wartawan.
Lebih spesifik jika dikaitkan dengan wartawan yang bertugas di area konflik maupun bencana, tidak ada satu  pasalpun dalam UU Pers yang mewajibkan perusahaan pers untuk memberikan peralatan standar keselamatan, asuransi, maupun skill bagi wartawan yang ditugaskan untuk melakukan liputan dalam area konflik/bencana. Kalaupun ada standar perlindungan wartawan seperti itu, maka ketentuan ini hanya tertuang dalam  Peraturan Dewan Pers No. 5/Peraturan-DP/IV/2008 yang sekalipun cukup apik dalam merinci hal-hal terkait perlindungan wartawan, namun tak lebih dari  dokumen etik yang tak memiliki kekuatan hukum mengikat yang dapat dipaksakan.
            Intermezo diatas Sebagai contoh awal menyangkut persoalan perlindungan pers dalam bekerja, jangankan pada kasus matinya wartawan dalam peliputan didaerah konflik, contoh kecil yang menjadi pembahasan kelompok kami adalah menyangkut kasus Pemukulan oleh oknum Tentara yang menjabat sebagai Dandim Karanganyar terhadap wartawan Triyono, wartawan Solo Pos (Liputan 6.com).
v  Rumusan Masalah
1.      Sejauh mana letak kebebasan Pers
2.      Sejauh mana UU melindungi Profesi Wartawan
3.      Jika dalam suatu pemberitaan terdapat pihak yang merasa dirugikan,bagaimana proses penyelesaiannya.
v  Pembahasan
UU 40 tahun 1999 tentang Pers memberikan dasar bergeraknya Insan Pers secara keseluruhan dalam hal melaksanaan tugasnya sebagai Pencari dan Penyampai Berita, menyangkut jalannya profesi ini diperlukan suatu perlindungan oleh Konstitusi terhadap Wartawan, maka Dewan Pers sebagai lembaga resmi pemerintah dan yang menaungi seluruh insan pers mengeluarkan peraturan yakni : PERATURAN DEWAN PERS Nomor: 5/Peraturan-DP/IV/2008 Tentang STANDAR PERLINDUNGAN PROFESI WARTAWAN, peraturan ini meRigitkan atau mengbreakdown menyangkut standar perlindungan seorang wartawan ketika bertugas, adapun isi dari peraturan ini adalah :  


KEMERDEKAAN menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati. Rakyat Indonesia telah memilih dan berketetapan hati melindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat itu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan bagian penting dari kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat.
Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan ini dibuat:
Ø  Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi;
Ø  Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa;
Ø  Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun;
Ø  Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran;
Ø  Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya;
Ø  Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh;
Ø  Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya;
Ø  Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi;




Ø  Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku.
 Cat: (Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers di Jakarta, 25 April 2008. Sebelum disahkan, draft Standar Perlindungan Profesi Wartawan telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu ("memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan").
Batasan Kebebasan Pers dalam UU 40 tahun 1999 juga memberikan aturan bahwa rumusan batasan kebebasan ini menurut pasal 2 Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
dengan rumusan ini memberikan gambaran umum bahwa kebebasan pers ini tidak diberikan secara mutlak terhadap insan pers karena sekali lagi menurut teori Lord Acton yakni Power Pretend to Corrupt, but Absolutly Power Corrupt Absolutly, maka dari itu dibuatnya kode etik yang mengatur mengenai pembatasan terhadap segala pemberitaannya.
Menyangkut pemberitaan oleh media pers dan ketika ada pihak yang merasa dirugikan oleh UU juga mengakomodir hal ini seperti pada pasal 1 angka 11-13 yakni rumusannya adalah :
11.  Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12.  Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13.  Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Ini yang menjadi kontrol masyarakat terhadap segala pemberitaan yang dirasa merugika mereka.namun bagi para wartawan oleh UU tidak memberikan batasan limitative yang tegas terhadap bentuk pemberitaan yang dilarang oleh UU 40 tahun 1999, namun pada pasal 5 pada ayat 1 hanya memberikan batasan umum menyangkut batas pemberitaan oleh media pers yakni seperti :
Pasal 5
a.       Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.


Dengan batasan norma ini hanya memberikan batasan yang didasari hanya pada bentuk perasaan hati seseorang atau sebagian besar orang menyangkut layak atau tidak layaknya suatu pemberitaan sehingga hanya bersifat sejauh mana pemberitaan itu layak atau tidak dan biasanya kasus-kasus sering terjadi pada pemberitaan-pemberitaan Infotainment atau biasa disebut tayangan informasi yang memberikan secara utuh kehidupan pribadi seseorang yang di Idolakan atau terkenal dimasyarakat yang kadang memberitakan hal-hal yang tidak benar (gossip).
v  Pokok pembahasan Artikel kasus Griya Lawu Asri
Liputan6.com, Karanganyar: Setelah kasus pemukulan terhadap wartawan yang dilakukan olehnya muncul ke permukaan, Letnan Kolonel (inf) Lilik Sutikna akhirnya harus rela menanggalkan jabatan sebagai pemegang komando tertinggi di Kodim 0727 Karanganyar, Jawa Tengah. Akibat tindakan pemukulan yang dilakukannya terhadap Triyono, wartawan Solo Pos, dirinya diberhentikan dari jabatannya sebagai komandan.

Pencopotan Lilik Sutikna disampaikan langsung Komandan Resor Militer 074/Warastratama Kolonel (inf) Abdul Rahman kepada wartawan, Rabu (8/9) petang. Dia menjelaskan bahwa pencopotan tersebut berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan Panglima Daerah Militer IV Diponegoro yang memerintahkan pemberhentian Lilik dari posnya.

Surat perintah tersebut adalah respons dari kodam terhadap hasil pemeriksaan sementara yang telah dilakukan pihaknya, di mana seperti diakui oleh Lilik pemukulan ini memang terjadi. Pencopotan Lilik Sutikna dari jabatan dandim juga dimaksudkan untuk mempermudah proses hukum yang harus dijalani di Polisi Militer TNI Angkatan Darat. Selanjutnya, kepala staf kodim atau kasdim akan ditunjuk untuk mengisi kekosongan kepemimpin di Kodim 0727/Karanganyar.






Kasus penganiayaan terhadap Triyono bermula dari pemberitaan terkait persidangan kasus korupsi proyek perumahan Griya Lawu Asri atau GLA yang merugikan negara hingga Rp 21,8 miliar. Dalam kasus yang melibatkan suami Bupati Karanganyar sebagai tersangka itu, disebutkan aliran dana korupsi proyek GLA juga diterima sejumlah partai politik dan institusi di wilayah tersebut, termasuk di antaranya Kodim Karanganyar [baca: Puluhan Jurnalis Protes Pemukulan Wartawan Solo Pos].

Data ini ditulis Triyono berdasarkan keterangan seorang saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar. Namun karena mendapat informasi bahwa data tersebut tidak muncul di persidangan, dandim pun memanggil Triyono dan terjadilah pemukulan itu hingga korban mengalami memar dan pendarahan pada mata kirinya.(CHR/ANS)

v  Pandangan Umum
Berawal dari pemberitaan yang diliput saudara Triyono seorang wartawan Solo Pos yang materi pemberitaannya menyangkut kasus korupsi proyek perumahan Griya Lawu Asri telah merugikan Negara hingga Rp 21,8 Miliar, dan kasus ini melibatkan suami Bupati Karanganyar yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka, pada artikel tersebut Triyono menuliskan sejumlah aliran dana yang mengalir ditengarai kepada beberapa Parpol dan Institusi di wilayah tersebut, termasuk di antaranya Kodim Karanganyar.
Dan Dandim Karanganyar merasa keberatan dengan hasil tulisan Triyono yang dimuat di harian Solo Pos, lalu dandim memanggil Triyono kekantornya, disanalah kejadian pemukulan itu terjadi,Triyono mendapat pukulan dimata sebelah kirinya, dan ketika beliau keluar dari kantor dan teman-temanya mendapati rekannya itu mendapat luka memar di mata yang didapati setelah Triyono menemui oknum kepala dandim ini, kontan rekan se-profesinya menyarankan untuk melakukan visum di rumah sakit dan melaporkannya ke kantor Polisi.
Dengan adanya kejadian ini sebagai contoh kecil dari lemahnya posisi wrtawan disini, namun dengan tindakan yang dilakukan Panglima Daerah IV Diphonegoro yang mencabut Jabatan Oknum Dandim yang melakukan pemukulan adalah tindakan yang patut di apresiasi sebagai bentuk tanggung jawab si Pelaku, karena kejadian ini harus bisa segera diberikan sanksi baik sanksi administrasi (Pencopotan Jabatan) maupun Pidana (Penjara) karena jika tidak diberikan hukuman bagi oknum ini, dapat menjadi preseden buruk bagi kasus-kasus yang mungkin akan terjadi dikemudian hari terutama pada kasus yang diberitakan menyangkut dari tugas pers dimasyarakat sebagai sarana Kontrol Sosial dimasyarakat, jika tidak adanya kebebasan Pers maka proses pengawasan masyarakat terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan ditindaklanjuti atau bahkan penyelewengan-penyelewengan seperti ini akan terus terjadi dan kerugian Negara semakin besar dan berujung pada kegagalan Negara dalam membangun Demokrasi yang sehat dan mensejahterakan rakyatnya.

Dalam era Demokrasi siapa saja dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah, karena Demokrasi identik dengan keterbukaan informasi terutama terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang dalam masa perumusan, pelaksanaan maupun pertanggung jawaban. Karena rakyat berhak tahu itu semua setelah kepercayaan publik terhadap pemerintah dengan jalan Pembayaran Pajak, jadi secara tidak langsung rakyat menginvestasikan uang mereka kepada pemerintah demi kesejahteraan mereka, dengan posisi rakyat seperti inilah maka media pers bertugas memberitakan setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terutama terhadap kasus-kasus penyimpangan seperti pada kasus GLA (Griya Lawu Asri) yang telah merugikan Negara 21,8 miliar rupiah yang notabene adalah uang rakyat melalui Pajak.
Pers yang dalam pengertiannya adalah sebagai Lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia  (pasal 1 angka 1 UU 40 tahun 1999 tantang pers).
Dan dengan pengertian pers ini mempunyai fungsi sebagai :
    1. Media Informasi
    2. Media Pendidikan
    3. Media Hiburan
    4. Kontrol Sosial (Kontrol Masyaraka)
Dari fungsi pertama sebagai Media Informasi secara harfiah telah menegaskan bahwa fungsi pers itu sendiri sebagai sarana untuk memberikan informasi bagi kepentingan publik, lalu fungsi keduanya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat karena salah satu ciri pers yang sehat adalah dalam materinya memberikan dampak positif bagi yang membacanya karena disitu termuat materi pembelajaran bagi yang membacanya, fungsi ketiga sebagai sarana hiburan masyarakat juga memberikan rasa nyaman atau meringankan ketegangan bagi yang membaca tulisan dari seorang wartawan atau menonton dari sebuah tayangan karena isi dari materinya yang ringan dan menghibur, yang sarana terakhir adalah sebagai fungsi kontrol social terhadap pemerintah sehingga rakyat memahami dan mengerti apa yang sedang dikerjakan oeh pemerintah sehingga bentuk penyelewengan dapat sedikit dihindari karena disini segala sesuatu tentang kebijakan yang sedang atau yang telah dikerjakan pemerintah menjadi lebih terukur dan jelas pertanggungjawabannya.



Dari keempat fungsi ini menunjukkan betapa pentingnya peran dan fungsi Media Pers bagi kehidupan di era Demokrasi, dimana kebijakan pemerintah tidak bisa semaunya lagi begitu pula dengan pertanggungjawabannya yang langsung terhadap public karena dana yang digunakan sejatinya adalah milik publik.
v  Kesimpulan
Menyoal permasalahan yang terjadi pada kasus Griya Lawu Asri (GLA) ini semestinya jika oknum Dandim yang merasa dirugikan nama baiknya, terlebih dahulu menggunakan Hak Jawab yang diberikan oleh konstitusi yakni UU 40 tahun 1999 pasal 1 angka 11 dan pasal 5 ayat 2 menyangkut hak jawab bagi siapa saja yang merasa dirugikan oleh pemberitaan yang dilakukan pers karena dalam pasal 5 ayat 2nya UU ini mewajibkan bagi pers untuk melayani hak jawab ini.
Begitu juga bagi siapa saja yang merasa dirugikan nama seseorang atau perusahaan atau siapa saja yang itu bukan dirinya namun dapat merusak atau merugikan dirinya dapat pula mengajukan Hak Koreksi terhadap pemberitaan yang dilakukan media pers seperti halnya hak jawab tadi.
Dengan diperkarakannya oknum Dandim ini ke Pengadilan Militer adalah langkah baik yang memang harus dilakukan oleh Panglima Daerah Militer IV Diponegoro, karena ini menunjukkan adalah perkembangan didalam tubuh Militer Indonesia yang lebih Civilize disbanding sebelum masa reformasi dimana pelanggaran HAM adalah perbuatan yang jamak dilakukan oleh kalangan Militer pada saat itu dikuasai oleh rezim “setengah” disetiap Pimpinan Jajaran Militer.
Bagi setiap Negara yang beradab Reformasi adalah sesuatu hal yang mutlak yang mestinya harus dilakukan, dimana penindasan, pemaksaan dan segala bentuk pelanggaran HAM sudah tidak bisa ditolerir lagi bagi sebuah Negara beradab.sebuah Bangsa yang Besar adalah bangsa yang menghargai Hak Dasar Warga Negaranya.
Kebebasan pers yang sehat adalah salah satu bagian penting bagi terwujudnya Negara yang beradab, dengan dasar rasa saling membangun Negara menjadi lebih baik lagi dikemudian hari, moga dengan terjadi kasus pemukulan terhadap wartawan ini adalah kejadian terakhir terhadap praktek-praktek yang berusaha mengbungkam suatu kebebasan warga Negara untuk mendapatkan informasi sesuai dengan pasal 28 ayat f yang telah diamanatkan UU, dan bagi pelaku dapat dikenakan pasal berlapis seperti pasal penganiayaan dan pasal 18 UU 40 tahun 1999 menyangkut ketentuan pidana, karena dianggap oknum Dandim ini dengan sengaja menghambat atau menghalangi kebebasan pers dapat dikenai hukuman penjara minimal 2 tahun dan denda maksimal sebesar Rp 500.000.000

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar disini, diharapkan gak pake nama samaran cuy..., biar qt akrab gitu...