Sahabat Pembaca

Monday, June 10, 2013

Indonesia di Kancah Politik 2014

Sudah sekian lama saya membaca sebuah artikel disalah satu koran terkemuka disini, bisa dibilang yang merajai nusantara.

Artikel itu membahas tentang "Siklus Kekuasaan Dunia"

Bahasan dari artikelnya pun somehow sangat mengena di sanubari#lebeeeh dikit
Bercerita tentang Perputaran kekuasaan di bumi, seingat saya ketika membaca artikel tersebut dalam keadaan sakit dan penyembuhan karena kecelakaan motor 2005, menghabiskan 3tahun lebih penyembuhannya.

Bukan itu yang jadi ganjalan di pikiran saya tetapi chirpstory2 yang sudah saya baca hasil gubahan akun anonim terkemuka di negara ini.

Semua bermuara pada satu siklus akhir dari Roda kekuasaan Dunia yaitu Pengusaha Besar, hal ini pula saya pernah berdiskusi dengan salah satu Wasekjen partai yang Pimpinannya baru kehilangan Putranya disaat sedang menimba Ilmu Agama di Negeri Orang*Insya Allah Syahid.

Ketakutan Aktivis adalah ketika Konglomerasi berhasil menempatkan "Boneka2"-nya di Parlemen, contoh UU Penanaman Modal Asing, UU Tembakau, UUD 45 Pasal (33) butir ke (5) ttg Pengelolaan SDA yg harus diatur dgn UU Khusus (Lex Spesialis) dalam hal ini UU Migas yang mestinya dikelola sebesar2nya untuk kepentingan bangsa namun tidak dengan kenyataannya (Istilah ilmiahnya "Das Sollen vs Das Sein = Cita-cita vs Kenyataannya") dan masih ada yang lainnya.

Konglomerasi di dunia manapun pasti berlomba-lomba mencari keuntungan yang besar, mereka melihat dunia dari sudut pandang seberapa besar saya bisa mendapatkan benefit jika saya bisa menguasai Pangsa Pasar ini, hidup mereka tidak lebih dari Margin Profit, Break event Point, Return Of Transaction, Total Cost dll istilah ekonominya.

Berdagang adalah Sunah Rasul, namun kita seperti munafik jika semua pengusaha 20%nya saja menggunakan cara2 Rasul dalam berdagangnya.

MDG's atau disebut Milenium Development Goals yang dicanangkan PBB untuk mengentaskan kemiskinan dan Kelaparan Dunia seperti slogan "Di Abad Fatamorghana" saja, tidak jauh dengan CSR (Corporate Social Responsibility) yang bahkan pada UU PMA ini diwajibkan bagi beberapa perusahaan terutama di sektor pertambangan, ini semua semacam omong kosong belaka, bahkan Spekulan Terkenal Dunia pernah mengatakannya secara terus terang di hadapan media televisi lokal yang kalo saya tidak salah disiarkan secara Live(George Soros), karena apa, alokasi keuntungan yang diperuntukan untuk progam CSR ini sangat kecil jika dibandingkan dengan Margin Keuntungan yang mereka peroleh.

Kita tidak menutup mata dengan apa yang dilakukan Bill Gates dengan kegiatan sosialnya, lagi-lagi itu sangat kecil jika dibandingkan dengan Korporasi-korporasi hitam di dunia, jikapun saya salah, logikanya setidaknya sudah tidak ada lagi orang mati kelaparan itu saja untuk membuktikan setinggi apa rasa tanggung jawab mereka.

Bagaimana cara mereka melanggengkan bisnis mereka adalah tidak lain dengan 2 cara yakni :
1. Pendekatan kepada Penguasa setempat, ambil contoh kecilnya adalah pedagang kaki lima yang berjualan ditrotoar dimana setiap harinya mereka harus menyetor ke oknum yang mengatas namakan Pemerintah setempat jika bisnis mereka tidak ♏ªų digulung paksa oleh Satpol PP, untuk Pengusaha Eropa mengenalnya dengan Istilah "Lunch Money".
2. Di Era Demokrasi Kebebasan Informasi sangat dilindungi, bahkan Pemerintah membangun sebuah lembaga sementara yaitu Komisi Informasi Publik (KIP) yang memberikan edukasi kepada publik jika ingin mengetahui sumber-sumber atau Informasi di lembaga negara mempunyai hak untuk itu namun pada batas tertentu, itu pada pemerintahan pada masyarakat umum kita mengenal UU Pers meskipun kekuasaan pers dalam memberitakan suatu berita di batasi akan adanya "Ralat", "Koreksi" dan "Hak Jawab"(http://klien.kontan.co.id/kebijakan_pemberitaan) hal ini yang dirasa kurang Mumpuni dalam mengurangi berita-berita Sampah pesanan pemegang uang dengan maksud berbagai macam seperti Pencitraan dsb, karena Pers sendiri berhak menyembunyikan identitas narasumber mereka yang semestinya hal ini untuk kebaikan dalam rangka melindungi narasumber mereka menjadi tameng oknum narasumber alias Haters atopun bayaran untuk menfitnah dan membangun opini publik.
Era demokrasi kekuatan terbesar adalah rakyat, karena rakyatlah yang menentukan "Nasib" mereka sendiri, mereka yang memilih Pemimpin mereka, mereka pula yang mampu menjatuhkan pemimpin mereka baik itu secara Prosedural melalui keterwakilan mereka di Parlemen (Impeachment/Pemakzulan) maupun unjuk rasa besar-besaran seperti pada tahun 1999 silam.
Semua itu ber-Hulu pada "OPINI PUBLIC" atau Isu Sosial Masyarakat Umum, secara alam bawah sadar kita,kita digerakkan alam pikiran kita untuk percaya pada satu kondisi tertentu, hal ini dilakukan secara terus menerus tanpa sadar kita mengamini kondisi tersebut, itu adalah bentuk kesuksesan Propaganda yang dahulu mutlak bisa dilakukan Penguasa Otoriter namun pada saat ini adalah kekuasaan konglomerasi.
Media dewasa ini sering kali memutar balikkan fakta dan membangun sebuah opini, mereka seperti "Tiran" baru di era Demokrasi. Ada slogan baru bagi Media yang bunyinya "Siapa yang ingin berkuasa maka kuasailah Media".
Media di Era Demokrasi terjerembab pada satu kondisi dimana Lord Acton dalam Teori Terkenalnya berbunyi "Power Tends to Corrupt but Absolutly Power Corrupt Absolutly" kebebasan informasi dan Ekspresi menjadi tameng mereka.

Dari Dua Point diatas timbul pertanyaan, jika kita tidak bisa melakukan tindakan Preventif bersamaan, mana dahulu yang bisa dilakukan...?

Pendapat Pribadi saya adalah lakukan perbaikan pada UU Pers, Perusahaan Lembaga pers baik cetak maupun elektronik wajib dilakukan Audit kekuangan secara Independent, karena apa sumber dana yang mengalir ke Perusahaan Pers cenderung yang menyebabkan tidak kredibelnya pemberitaan mereka, selanjutnya yang terpenting adalah larangan bagi Pemilik maupun pemegang saham dikuasai oleh holding company seperti ddisini dan terakhit yang terpenting adalah guna mencegah Pers tidak ditunggangi kepentingan Politis maka adanyanya Larangan Parpol memiliki Media Pers Nasional kecuali hanya Situs resmi partai mereka sebagai ajang propaganda bukan media pers yang dinikmati masyarakat secara umum.

Menjadi Pengusaha bukanlah hal buruk, bahkan dapat menjadi ladang Amal dan Ibadah dimana ketika bisa membantu orang banyak, dan tidak semua Pengusaha Besar itu "Mafia".

Bahayanya jika tidak adanya titik Equilibrium atau keseimbangan antara tiga pilar negara adalah yang timbul hanyalah kesewenang-wenangan jika kita meminjam istilah Hukum Administrasi Negara yakni Abus the Droid atau Detournement de Puvoir maupun Wilekeur.

Jika ini bisa terjadi Quo Vadis (♏ªų dibawa kemana) nasib masyarakat Indonesia, 2014 tinggal menghitung bulan semoga rakyat Indonesia diberkahi Allah swt Tuhan Yang Maha Esa



                                                                   Arizma Bayu Suwito
                                                        Hasil dari Kegalauwan Putra Pertiwi
                                                                 Gamprit V, 9 Juni 2013

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar disini, diharapkan gak pake nama samaran cuy..., biar qt akrab gitu...