Sahabat Pembaca

Monday, December 24, 2012

Pembodohan Sistematis



LATAR BELAKANG
            Menurut seorang penulis Profesor sejarah di Universitas Nasional Singapore M.C Ricklefs mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “ Sejarah Indonesia Modern”, berisikan tentang keadaan Indonesia pada khususnya dan umumnya Nusantara secara keseluruhan dalam konteks bangsa serumpun.
            Indonesia Negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah kekalahan Jepang pada perang dunia ke 2 dengan dijatuhkannya Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima, menjadi semacam momentum bagi para golongan muda untuk “memaksa” pada golongan tua mendeklarasikan kemerdekaan Republik ini, singkat cerita Peran pemuda dalam hal ini adalah mengantarkan Indonesia menjadi Negara yang berdaulat.
            Memahami Indonesia tidak terlepas dari himpunan kerajaan yang dahulunya mendiami Negara ini, Dahulu kita mengenal 2 kerajaan nusantara yang sangat kuat, di bagian barat kita mengenal Kerajaan Sriwijaya (Svarnabumi) yang terletak di Wilayah Palembang, kita mengenalnya pada hari ini, dan Kerajaan Majapahit(wilwatikta) yang sangat terkenal Maha Patihnya yakni Maha Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa (Amukti Palapa), Kerajaan ini dulunya terletak di sekitar wilayah Mojokerto.
            Dua Kerajaan inilah yang memiliki kekuasaan hingga hampir diseluruh Negara Asia Tenggara jika hari ini kita mengenalnya, bersatunya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidak terlepas dari ada ikatan kekeluargaan(Pernikahan) ketika Pasukan Singasari melakukan Expedisi Pamalayu.
            Singkat kata kita tidak melihat itunya akan tetapi dalam hal ini kita melihat dari segi cara Kepemimpinan Maha PAtih Gajah Mada yang menggunakan system Kepemimpinan yang Tunggal dan tertutup, beliau hanya meminta pendapat dari orang-orang kepercayaannya dalam menjaga luasnya kekuasaan Nusantara yang telah dia taklukan.
            Dalam beberapa Periode tertentu setiap Negara (Kerajaan, pen) di-“Paksa” untuk mengirimkan Upeti sebagai bentuk kesetiaan dan tunduk pada kekuasaan pusat jika tidak ingin ditumpas kerajaannya, tidak hanya seperti itu, Raja mereka atau orang kedua dari Kerajaan bawahan untuk menyembah atau menghormati Raja Majapahit layaknya rakyat mereka sendiri menghormati dirinya.Symbol-simbol inilah sebagai bentuk system pemerintahan yang Otoriter jika kita mengenalnya pada hari ini.

PEMBAHASAN
Sistem Pemerintahan di Indonesia
A.    Masa Parlementer
            Bangsa ini pernah mengalami masa dimana kekuasaan terletak pada satu orang saja (Otoriter), begitu juga pada Parlemen dan akhirnya kembali kepada rakyat meskipun tidak sepenuhnya, ketika kita mengurai satu-satu system pemerintahan yang tadi kita jabarkan mungkin kita akan menemukan permasalahan disana yakni ketika kita mengalami system pemerintahan Parlementer pada Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer.
System parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Ciri-ciri pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
1.      Badan legislatif adalah satu-satunya badan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
2.       Anggota parlemen terdiri dari orang-orang dari partai politik yang menang dalam pemilu.
3.      Pemerintah atau kabinet terdiri atas para mentri dan perdana mentri sebagai pemimpin cabinet.
4.      Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan selama mendapat mayoritas suara dari parlemen.
5.      Kepala negara tidak sealigus sebagai kepala pemerintahan.
6.      Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet, kepala negara dapat membubarkan parlemen.

System Parlementer ini sempat terjadi di era orde lama Kepemimpinan Presiden Soekarno, ketika banyak yang mengganggap Pemilu tahun 1955 sebagai Pemilu Pertama dan Terakhir secara demokratis di Indonesia seperti yang dinyatakan oleh Jeffry Winters ketika itu pemilu di Indonesia di ikuti oleh 40 peserta Partai Politik dan hanya beberapa Parpol yang memenangkan “pesta rakyat” tersebut yakni Masyumi, PKI, NU, PNI yang silih berganti memimpin menjadi Perdana Menterinya, namun dikarenakan masih tidak stabilnya system ini untuk dianut di Indonesia berakibat pada sering terjadinya Mosi Tidak Percaya terhadap Perdana Menteri sehingga praktis setiap PM baru yang tunjuk tidak dapat menjalankan kebijakannya secara baik. Hal ini yang mengakibatkan kala itu Kepala Negara Republik Indonesia yakni Presiden Sukarno untuk membubarkan Parlemen melalui Dekrit 5 Juli 1959 menandai berakhirnya masa Demokrasi Parlementer dan beralih kepada masa masa demokrasi terpimpin.
B.     Masa Totaliter
Setelah turunnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kekuasaan Parlemen melalui partai politik mulai dikurangi, Presiden pula lewat dekrit tersebut mengangkat dirinya sebagai Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, mengangkat dirinya sebagai Presiden selama seumur hidup dan pada masa itu Presiden Sukarno memperkenalkan Ideologi Politiknya yang sangat terkenal yakni NASAKOM (Nasionalis,Agamis,Komunis ) dengan Partai yang merepresentasikannya yaitu berturut-turut Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdathul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI).

Disini meskipun pada masanya Sukarno belum sempat berbuat banyak dengan Ideologi Politiknya kita mengenalnya dengan system Pemerintahan Otoriter walaupun dengan kurun waktu yang sangat singkat dikarenakan peristiwa 5 tahun setelah terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu Pemberontakan yang dimotori PKI dengan Tentara “Disersir”nya pada tanggal 30 September 1965 yang sering kita mengenalnya G30S/PKI. Pada peristiwa tersebut para Jenderal ditangkapi dan akhirnya di”eksekusi”  dengan tujuan ketika para Jenderal di Tanah Air ini dibunuh maka akan terjadi Vacuum off Power sehingga terjadi kegoncangan Politik ketika rantai komando tertinggi terputus maka siapa saja yang mempunyai system komando pada saat itu secara efektif bisa saja dengan mudah mengambil kekuasaan dan praktis PKI dengan pasukannya bisa saja pada masa itu mengambil alih kepemimpinan, namun kebiasaan pada tingkat kemiliteraan ketika pusat komando tertinggi tidak ada maka pada waktu itu Presiden Sukarno dengan Surat Perintah 1 Maret (Supersemar), untuk mengembalikan kondisi keamanan melalui Panglima Kostrad yang pada waktu itu dipegang oleh Brigadir Jenderal Soeharto, mengambil kebijakan dengan Perintah pertama yaitu membubarkan Parta Komunis Indonesia dan menganggap sebagai partai terlarang, menumpas habis pengikut-pengikut Komunis hingga ke akar-akarnya.

Dan setelah keadaan dianggap pulih kembali lewat manuver politiknya, Suharto yang memegang kekuasaan  melalui Supersemar itu menggulingkan kekuasaan Sukarno dan mengasingkan dirinya di Istana hingga ajal menjemput. Akhir kata mulailah era Suharto yang memimpin Negeri ini 32 tahun mendatang dengan system Pemerintahan Demokrasi terselubung Otoriter dengn jumlah Parpol yang disederhanakan menjadi hanya 3Parpol saja.

C.     Masa Presidensiil
Sebenarnya pada masa Sukarno setelah adanya Dekrit 5 Juli 1956 adalah masa Presidensil meskipun singkat, karena pada masa itu Presiden mempunyai hak Prerogatif mutlak, dan begitu pula pada masa Suharto system Presidensil juga mengalami kejayaannya, karena pada masa ini kewenangan Presiden hanya dibatasi oleh Parlemen yang hanya terdiri dari 3 Parpol dimana Partai Pendukungnya menempati suara mayoritas di Parlemen sehingga Praktis segala kebijakan Presiden minim hambatan dari parlemen.
Agar lebih memahami system Presidensiil ini adalah sebagai berikut Ciri Umumnya.
a.       Sistem presidensial hanya terjadi dalam negara berbentuk republik.
b.      Dalam sistem presidensial fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan menyatu (namun tidak lebur) dalam satu figur, Presiden.
c.       Kepala Negara (KN) dan Kepala Pemerintahan dijabat oleh Presiden. KN adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan.
d.      Kekuasaan pemerintahan adanya di eksekutif/kabinet yang dipimpin Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Maka, dalam sistem presidensial, obyek utama yang diperebutkan adalah presiden.
e.       Selaku pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. (Presiden dipilih rakyat bukan dipilih partai). Selaku kepala negara, Presiden adalah milik bangsa, maka tidak layak bila memangku jabatan ketua atau fungsionaris partai.
f.       Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab pada presiden. Dalam sistem presidensial tidak dikenal istilah kabinet koalisi. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai.
g.      Parlemen (legislatif) dalam sistem presidensial memiliki dua fungsi utama. Pertama, menterjemahkan “Kontrak Sosial” presiden menjadi undang-undang (perdebatan bukan pada pro-kontra Kontrak Sosial melainkan pada upaya mempertajam program). Sistem presidensial tidak mengenal istilah Partai Oposisi.
h.      Peran partai tidak dominan, kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan publik. Sistem presidensial biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Lemah” (Bambang Cipto, 1996: 41)
Pada masa orde baru Suharto berusaha untuk melakukan penyederhanakan Parpol dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Dan kita mengenal menurut pendapat Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul, “Factors in a Two-Party and Multiparty System,” dalam Party Politics and Pressure Groups (New York: Thomas Y. Crowell, 1972), Orde Baru menggunakan system kepartaian seperti ini selama kepemimpinan Suharto yang kadang membuat pengertian system partai tunggal menjadi partai dominan, lebih lanjut jelasnya akan dibahas di Bab selanjutnya.
Dasar Negara Indonesia
  I.            SISTEM  KETATANEGARAAN INDONESIA
  Menurut UUD 1945 sistem ketatanegaran Indonesia adalah sebagai berikut:
a.       Bentuk negara adalah kesatuan.
b.      Bentuk pemerintahan adalah republic.
c.       Sistem pemerintahan adalah presidensill.
d.      Sistem politik adalah demokrasi atau kedaulatan rakyat

1.      Bentuk Negar Kesatuan 
Dalam UUD 1945 ditetapkan bahwa bentuk susunan negara Indonesia adalah kesatuan. Dasar penetpanya terdapat pada Pasal 1ayat (1)UUD 1945 yang menyatakan ”Negara indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik”.

Secara teri ada dua klarifikasi bentuk negara yaitubentuk negara serikat da bentuk negara kesatuan. Bentuk negara federal adalah bentuk negara yang bersusunan jamak terdiri dari beberapa negara bagian. Jadi dalam negara federal terdapat dua pemerintahan yaitu pemerintah federal dan pemerintah negara bagian yang memiliki derajat yang sama.

Negara kesatuan adalah negara yang bersususnan tunggal. Didalam negara kesatuan, kekuasaan mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Dalam kenyataannya, kekuasaan untuk mengatur seluruh urusan pemerintahan dilakukan dengan dua cara yaitu asas sentralisasi dan asas desentralisasi. Negara kesatuan dengan asas sentralisasi berarti kekuasaan pemerintahan itu dipusatkan di pemerintah pusat.sedangkan negara kesatuan dengan asas desentralisasi berarti peerintahannya menjauh dari kekuasaan yang berada pusat ataudengan kata lain kekuasaan berada di daerah.

Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal UUD 1945 perubahan kedua.

2.      Bentuk Pemerintahan Republik
Dalam psal 1 ayat (1)UUD 1945 menetapakan bahwa bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik.
Secara teoritis, ada dua klasifikasi bentuk pemerintahan di era modern yaitu bentuk pemerintahan republik dan bentuk pemerintahan monarki atau kerajaan. Perbedaan diantara keduanya adalah dari cara pangangkatan kepala pemerintahannya apabila pemerintahan republik pengankatannya berdasarkan pemilihan sedangkan pemerintahan monarki pengankatan kepala pemerintahannya melalui pewarisan atau turun temurun.

Bentuk pemerintahan negara indonesia pernah berubah menjadi negara serikat pada tahun 1949-1950 akan tetapi bentuk pemerintahan negara Indonesia tidak pernah berubah menjadi negara monarki.dan sekarang ini bangsa Indonesia sepakat bahwa perihal bentuk pemerintahan negara adalah republik dan tidak akan ada perubahan sesuai pasal 37 ayat (5) naska UUD 1945 perubahan keempat.

3.      Sistem Pemerintahan Presidensill
Sesuai dengan ketentuna dalam UUD 1945, indonesia menganut sitem pemerintahan presidensiil. Secara teoretis, sistem pemerintahan dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu sistm pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil.

Sistem pemerintahan parlementer dan presidensil didasarkan hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.apabila badan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif adalah sistem pemerintahan parlementer sedangkan sistem pemerintahan presidensiil badan eksekutif berada di luar pengawasan badan legislatif.

Ciri-ciri pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
Ø  Badan legislatif adalah satu-satunya badan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Ø  Anggota parlemen terdiri dari orang-orang dari partai politik yang menang dalam pemilu.
Ø  Pemerintah atau kabinet terdiri atas para mentri dan perdana mentri sebagai pemimpin cabinet.
Ø  Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan selama mendapat mayoritas suara dari parlemen.
Ø  Kepala negara tidak sealigus sebagai kepala pemerintahan.
Ø  Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet, kepala negara dapat membubarkan parlemen.

Dalam sistem pemerintahan presidensil, badan eksekutif dan badan legislatif memiliki hubungn yang independen mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensiil adalah
Ø  Penyelenggaraan negara berada di tanggan presiden.
Ø  Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden.
Ø  Presiden bertanggung jawab kepada parlemen.
Ø  Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Ø  Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan.
Ø  Presiden tidak berada dalampengawasan langsung parlemen

Gambaran akan sistem pemerintahan di Indonesia dinyatakan dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (1)
Pasal 5 ayat (1)
Pasal 5 ayat (2)
Pasal 6A ayat (1)
Pasal 7C
Pasal 10
Pasal 11 ayat (1)
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 17 ayat (1) dan (2)
Pasal 19 ayat (1)
Pasal 2 ayat (1)
Pasal 20 A ayat (1)

Secara teoretis sistem pemerintahan presidensiil memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sistem pemerintahan presidensiil adalah sebagai berikut.
1)      Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak bergantung pada parlemen.
2)       Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
3)      Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan deganjangka waktu masa jabatannya.
4)      Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan jabatn eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.



Kelemahan sistem pemerintahan presidensiil
1)      Kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan langsung legislatif sehigga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
2)      Sistem pertanggungjawabannya kurang jelas.
3)      Pembuatan keputusan/ kebijakan publik umumnya hasil tawar menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasil kurang tegas.
4)      Kelemahan utama dari sistem pemerintahan persidensii adalah kecendrugan kekuasaan eksekutif atau presiden yang mutlak.

Oleh karena itu diadakan beberapa ketentuan dalam UUD 1945.
1)      Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan MPR atas usul DPR.
2)      Presiden dalam mengangkat pejabat negara pelu pertimbangan dan/atau DPR.
3)      Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu, perlu mempertimbangkandan/atau persetujuan lembaga lain seperti DPR, MA dan MK.
4)      Parlemen diberi kekuasaan lebih dalam hal membentuk Undang-Undang dan hak budget.
5)      Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki hak judicial review.

Dengan adanya mekanisme tersebut maka antar lembaga negara dapat saling mengendalikan dan mengimbangi sat dengan yang lain.

4.    Sistem Politik Demokrasi
Sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sistem politik yang dianut oleh Negara Indonesia adalah sistem politik demokrasi.hakikat demokrasi itu adalah kekuasaan dalam negara berada di tangan rakyat.

Secara teoretis, klasifikasi sistem politik di Indonesia terbagi dua sistem politik demokrasi dan sistem politik otoritarian.

Pembagian atas sistem politik demokrsi dan sistem politik otoriter ini didasarkan atas:
Ø  Kewenangan pemerintah terhadap aspek-aspek kehidupan warganya;
Ø   Tanggungjawab pemerintah terhadap warga Negara
Sistem politik disebut otoriter apabila kewenangan pemerintah terhadap kehidupan warganya amat luas, mencangkup hampir semua aspek kehidupan. Adapun sistem politik disebut demokrasi apabila kewenangan pemerintah terhadap kehidupan warga negaranya amat terbatas. Lebih jauh dari itu sistem politik dikatakan demokrasi apabia menganut sistem demokrasi dalam penyelenggaraan bernegara. Secara normatif sistem politik demokrasi yang dianut di Indonesia didasarkan nilai-nilai bangsa yaitu Pancasila.


5 Sistem Kepartaian di Dunia

1. Nirpartai (Non-Partisan)
Dalam sebuah sistem nirpartai, tidak ada partai politik yang eksis, dan sering kali itu merupakan wujud dari peraturan perundangan yang melarang adanya partai politik. Misalnya di dalam rezim monarki absolut, diktatur personal, maupun pemerintahan militer. Namun, sistem nirpartai tidak hanya terdapat dalam sistem otoritarian saja, tetapi di negara liberal pun dapat terjadi gejala nirpartai.

Pemilihan umum dalam sistem nirpartai, dengan demikian, setiap kandidatnya dipilih berdasarkan kualitas pribadinya sendiri. Dalam legislatif nirpartai, tidak ada anggota dewan yang memiliki kaitan dengan partai secara formal. Contohnya, pemerintahan di bawah pimpinan George Washington di awal kemerdekaan Amerika Serikat, yakni di sesi-sesi awal Kongres AS bersifat nirpartai.

Washington juga menunjukkan penentangannya terhadap partai politik dalam pidato perpisahannya. Legislatif unikameral di negara bagian Nebraska adalah satu-satunya badan pemerintah negara bagian yang nirpartai di AS dewasa ini. Banyak kota dan pemerintah kecamatan di AS juga bersifat nirpartai. Di Canada, badan legislatif di Wilayah Barat-daya (Northwest Territory) dan Nuvanut adalah nirpartai.

Pemilihan yang dan cara memerintah yang nirpartai biasanya di luar lembaga negara. Terkecuali terdapat larangan undang-undang terhadap pendirian partai, faksi-faksi di dalam sistem nirpartai kadang kemudian berubah menjadi partai politik.

2. Ekapartai dominan (Single dominant party)
Dalam sistem ekapartai, satu partai politik saja yang secara sah dibolehkan untuk memegang kekuasaan efektif. Meskipun partai-partai lain yang kecil-kecil mungkin kadang-kadang diperkenankan eksis, mereka disyaratkan secara legal untuk menerima kepemimpinan partai dominan tersebut.

Partai ini bisa tidak selalu identik dengan pemerintah, walaupun kadang posisi-posisi di dalam partai menjadi lebih penting ketimbang posisi di dalam lembaga pemerintah. Negara komunis, seperti Cina sebagai contohnya; lainnya terdapat di negara Fasis seperti Jerman jaman Nazi (Hitler) antara 1933-1945. Sistem ekapartai (partai tunggal) dengan demikian biasanya disetarakan dengan kediktatoran dan tirani.

Dalam sistem partai dominan, partai-partai oposisi diijinkan eksis, dan boleh jadi sistem itu juga menerapkan tradisi demokratik secara mendalam, namun partai-partai oposisi itu diatur sedemikian rupa agar tak mempunyai kesempatan yang nyata untuk meraih kekuasaan. Kadang kala kondisi politik, sosial, dan ekonomi, serta pendapat umum dijadikan alasan bagi kegagalan partai-partai oposisi itu. Kadang pula ciri khas di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang lemah memungkinkan bagi adanya partai dominan yang akan memegang kekuasaan secara terus-menerus menggunakan patronase dan sering kali menggunakan kecurangan dalam pemilihan umum. Pada kasus yang terakhir ini, perbedaan definisi antara sistem partai tunggal (ekapartai) dengan partai dominan menjadi agak kabur.

Contoh sistem partai dominan adalah People’s Action Party di Singapura dan African National Congress di Afrika Selatan. Satu partai dominan juga eksis di Mexico. Dengan Partido Revolucionario Institucional (Institutional Revolutionary Party) sampai tahun 1990-an, di Amerika Serikat bagian selatan, Partai Demokrat seperti itu pula dari abad ke-19 hingga tahun 1970-an, dan di Indonesia dengan Golongan Karya (Party of the Functional Groups) dari awal tahun 1970-an sampai fajar era reformasi 1998.

3. Sistem Dwipartai dominan (Two dominant parties)
Sistem dwipartai misalnya yang eksis di Amerika Serikat dan Jamaica yakni di mana ada dua partai politik dominan sampai tahap tertentu ketika dukungan bagi partai selain yang dua itu sangat sulit diperoleh. Satu koalisi sayap kanan dan satu koalisi sayap kiri merupakan wujud ideologi yang paling lazim di dalam sistem seperti itu tetapi di dalam sistem dwipartai biasanya partai-partai politik secara tradisional merupakan partai raih semua (catch-all party) yang ideologinya luas dan terbuka.
Inggris Raya juga merupakan negara yang luas diakui bersistem dwipartai, yang dalam sejarahnya kekuasaan bergilir antara dua kekuatan politik utama (saat ini Partai Buruh dan Partai Konservatif), tetapi Partai Demokrat Liberal dan sejumlah partai lain serta kelompok independen juga mempunyai kursi di Parlemen Inggris.

Sistem pemilihan plural seperti di Amerika Serikat biasanya juga menjadikan sistem dwipartai. Hal ini dikemukakan oleh Maurice Duverger yang kemudian disebut sebagai hukum Hukum Duverger.

4. Nekapartai (Multiple parties)
Sistem multpartai atau nekapartai adalah sistem kepartaian di dalam mana antara lebih dari dua partai terjadi persaingan dalam kompetisi meraih kekuasaan politik.

Canada, India, Republik Irlandia, dan Inggris Raya adalah contoh-contoh di mana terdapat dua partai kuat, dengan sebuah partai ketiga yang dalam pemilihan juga mendapatkan dukungan relatif kuat. Partai “ketiga” ini bisa jadi kadang menjadi nomor dua dalam pemilihan umum, dan menampakkan ancaman bagi kedua partai lainnya, tetapi masih saja tidak pernah memimpin pemerintahan. Partai seperti itu khususnya berpengaruh ketika dukungan atau penentangannya dapat meneruskan atau mengakhiri seuah pemerintahan minoritas.

Finlandia merupakan kasus yang jarang, di mana sebuah bangsa dengan tiga partai yang secara rutin sama-sama memegang pucuk pemerintahan. Sangat jarang bagi sebuah negara memiliki lebih dari tiga partai yang semuanya secara kasar memiliki kesempatan setara membentuk pemerintahan. Sementara itu, Colombia secara tradisional memiliki sistem dwipartai yang agak kaku, tetapi setelah pemilu tahun 2002, sistem kepartaiannya mengalami perubahan penting.

Yang lebih lazim lagi, dalam kasus di mana terdapat tiga atau lebih partai, yang tak satu partai pun dapat mencapai kekuasaan sendiri, dan kemudian meraka bersama-sama membentuk pemerintahan koalisi. Ini merupakan kecenderungan yang sedang naik daun di Republik Irlandia dan hampir selalu seperti itu di Jerman pada level nasional dan negara bagian, serta di sejumlah daerah. Gambaran yang sering muncul dari pemerintahan koalisi adalah rapuh dan mudah mengalami perubahan cepat dan cenderung kurang stabil.

5. Sistem Nekapartai Berimbang (Balanced multiple party systems)
Sebuah studi yang luas dan melibatkan simulasi dan jajak pendapat oleh Donald Arthur Kronos, telah menunjukkan bahwa sistem dwipartai yang efektif sebagaimana berlaku di Amerika Serikat saat ini dapat dimodifikasi menjadi sistem pemilihan pluran berimbang melalui penambahan pilihan “suara negatif” untuk secara lebih baik menunjukkan niat para pemilih.

Ini berbeda dari sistem pengambilan suara baku atau sistem pemilihan anti-pluralitas di mana lebih dari sekadar membolehkan pemilih memilih siapa yang hendak didukung atau membolehkan memilih siapa yang tidak didukung, menjadi sebuah sistem berimbang di mana pemilih dibolehkan memilih siapa pun kandidat yang akan didukungnya dan siapa yang tidak didukungnya. Dalam kasus pemilihan berkisaran (range voting) berimbang seseorang pemilih dapat menentukan kombinasi suara mendukung dan menolak darinya terhadap sispa pun kandidatnya.

Masalah yang ada dalam sistem pemilihan plural tradisional adalah bahwa upaya apapun untuk mencegah seorang kandidat untuk terpilih cenderung menghasilkan suatu nilai suara positif palsu, yakni umumnya bagi seorang kandidat yang berpikir untuk memiliki posisi yang lebih menguntungkan ketimbang kandidat lainnya, yang kemudian berupaya meningkatkan keberuntungannya tersebut.

Suatu pemilihan plural berimbang akan membolehkan pemilih untuk menunjukkan suara penolakan sejati (true negative vote), dengan demikian dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi adanya suata positif yang palsu. Suatu sistem nekapartai berimbang secara signifikan akan mengurangi keanehan yang terjadi karena seorang kandidat yang dikenal luas namun tidak populer (baca: tidak pro-rakyat) memenangi pemilihan, dengan membolehkan siapa pun yang menentangnya untuk memberi suara yang lebih tepat ketimbang memilih di dalam sistem tak berimbang yang hanya mengijinkan suara dukungan saja atau penolakan saja.

Jumlah suara setiap pemilih bukanlah faktor dalam sistem yang diseimbangkan, tetapi supaya adil seharusnya konsisten di dalam suatu pemilihan yang diperuntukkan semua pemilih. Hal ini juga mempuyai efek matematis untuk menghilangkan feedback loop (umpan balik berulang-ulang) yang apabila tidak demikian akan memberikan sebuah keuntungan yang tidak adil sepanjang waktu kepada kedua partai tersebut. Feedback loop ini terjadi di dalam sistem pemilihan plural ketika seorang pemilih berupaya menunjukkan suatu suara negatif (menolak kandidat tertentu) namun yang tersedia hanya pilihan positif (mendukung kandidat tertentu).

Maka pemilih itu dipaksa untuk mengevaluasi pilihan-pilihan yang tersedia dan menentukan apa yang paling baik untuk mengurangi keanehan kemenangan kandidat yang ditentangnya. Sebagai contoh, karena sejarah suatu partai mungkin memberi sejumlah indikasi kebisaterpilihan (elektabilitas) seorang kandidat yang didukung oleh partai itu, maka hal terdekat untuk menentangnya dalam pemilihan umum akan berupa suara untuk kandidat partai tersebut yang diyakini oleh pemilih itu telah menang di sebagian pemilihan umum dalam sejarahnya. Jika kandidat yag ditentang itu maju di partai yang sama, maka pilihan yang jelas kandidat partai berikutnya yang paling sering menang dalam sejarah pemilihan.

Hal ini menyebabkan hanya dua partai yang memiliki kelayakan untuk dipilih sekali sejarah telah tercipta bagi mereka. Suatu sistem pemilihan berimbang akan menghilangkan feedback loop ini dan akan menguntungkan bagi pemilih. Konsep sistem pemilihan berimbang ini dapat diterapkan untuk banyak tipe sistem pemilihan termasuk sistem pilihan ganda dan dapat diterapkan pula untuk pilihan plural dan sistem perwakilan proporsional.


Golkar dalam system Ekapartai dominan (Single dominant party)

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.

Adalah langkah yang paling penting yang diambil Suharto demi mengamankan posisi kekuasaannya secra legal dan stabil yaitu dengan mengambil kebijakan di bidang Politik dengan Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Sejarah singkat keberadaan partai Golkar yang lahir dan digunakan oleh rezim Suharto dalam memuluskan perjalanan tampuk kekuasaannya selama 32 tahun menjabat, Golkar yang secra praktis menjadi kendaraan politik dan partai pendukung pemerintah disetiap kebijakan yang dikeluarkan, Golkar oleh Pemerintah dijadikan partai yang dominan dan menguasai lebih dari 50% suara melalui dukungan dari para Pegawai Negeri Sipil (PNS), ABRI (dulu masih memiliki hak Politik), maupun perangkat Pemerintahan hingga ketingkat Desa bahkan Dusun diseluruh Indonesia.

Pada masa itu meskipun Pemilu kita mempunyai azas “LUBER JURDIL” (langsung, umum, bebas, rahasi, jujur dan adil). Tapi sekali lagi bagaikan pameo yang sering terjadi adalah Dassein yang selalu bertentangan dengan Das Sollen, sebagai contoh ketika seorang PNS memilih Parpol yang itu bukanlah Golkar maka dia pun akan dipanggil oleh atasannya untuk diberi peringatan yang secara tidak langsung tekanan psikologis akan mempengaruhi sang PNS tersebut. Selain itu juga beberapa hari sebelum hari H pemilihan suara biasanya Pimpinan lembaga Negara berboyong-boyong mengumpulkan pegawainya disuatu aula dan disana sudah disiapkan “sosialisasi” pemilihan umum dengan Doktrinisasi untuk memilih partai Golkar.

Jadi menurut penulis system Pemilu yang digunakan Indonesia pada masa Orde Baru adalah cenderung system ekapartai Dominan (single dominant party), Suharto juga membangun basis intelejen yang dibentuknya baik Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkaptib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) bahkan ketika Ali Murtopo disingkirkan dari kepemimpinan Bakin, Sumitro yang memegang kendali Panglima Komkaptibpun dipecat dan langsung dipegang oleh Suharto karena beliau menganggap mengancam kekuasaan dirinya.

Kekuasaan yang tak terbatas dimiliki Suharto pada saat itu yang membuat kepemimpinannya cenderung Otoriter, dengan memegang kendali diseluruh lini kehidupan. Namun setelah pengunduran dirinya pada tanggal 21 mei 1998 dengan sebelumnya didahului banyak peristiwa-peristiwa penting demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
            Tak lama lama berselang Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto atas nama Institusi yang dipimpin olehnya menyatakan sikap mendukung Presiden BJ Habibie, berakhirnya rezim Suharto namun tetap melindungi dan menjaga kehormatan dan keselamatan keluarga Cendana setelah lengsernya kekuasaan Suharto.
Reformasi yang lahir tanpa arah
            Berakhirnya rezim Suharto adalah kemenangan besar bagi perlawanan kediktatoran di Negeri ini, eforia Negara ini akan keterbukaan dan kebebasan menggema di se-antero negeri, timbullah banyak ide-ide akan bagaimana system ketatanegaraan akan terbentuk selanjutnya, banyak UU yang dicabut yang dibuat setelah tumbangnya rejim Suharto tapi hingga kinipun hasil yang didapat dari reformasi tidak lebih baik dari masa orde baru, system multypartai yang membuat kekuasaan Presiden melalui hak Prerogatifnya menjadi tidak Presidensiil karena dibatasinya ruang gerak Presiden dengan system yang aneh dimana menganut Presidensiil tapi dengan multypartai mau tidak mau presiden harus berkoalisi sedangkan dalam system presidensiil semestinya tidak mengenal dengan istilah koalisi karena istilah ini hanya dikenal jika kita menggunakan system parlementer.
            UU no 2 tahun 2011 merupakan perubahan dari UU no 2 tahun 2008 tentang Kepartaian tidak merubah secara signifikan tentang prubahan system kepartaian di Indonesia, karena semangat yang dibangun dari UU ini adalah syarat dengan kepentingan Politik Kekuasaan semata, demi menyelamatkan kedudukannya di kekuasaan.
            UU yang baru ini masih memungkinkan adanya atau terbentuknya partai-partai baru dengan system multipartai. Padahal semenjak Indonesia terbebas dari Rezim Otoriter di era orde baru system multipartai tidak terbukti dapat menjawab problematika saat ini, parpol yang terbentuk lewat system ini menyebabkan “kualitas” parlemen yang terbentuk melalui system multipartai ini masih sangat mengecewakan, dan cenderung malah menjadi kroni mafia yang terorganisis dalam kekuasaan.
            Indonesia masih jauh dari sikap kedewasaan public akan Pemilu karena system multi partai ini menimbulkan ketidak stabilan politik sehingga kita tidak jarang melihat “dagelan-dagelan” politik atas nama rakyat padahal hanya untuk demi menjaga kepentingan setiap parpol yang ikut dalam koalisi dapat terpenuhi.
Masyarakat disini juga dibodohi, kantong-kantong kemiskinan adalah sarana yang ampuh dalam menjaring suara sebanyak-banyaknya, politik pragmatism dengan melakukan money politics masih jamak dilakukan setiap adanya pemilihan baik di pusat maupun didaerah. System mobilisasi masa dengan panggung-panggung hiburan dengan disertai orasi menjadi alat utama meskipun tidak berarti mengangkat elektabilitas voters, karena disini uang yang bermain, rakyat akan memilih jika ada yang bayar. Dan hasilnya adalah biaya tinggi untuk membentuk suatu parlemen atau pergantian pemerintahan (Suksesi Pemerintahan).
Ini menjadi siklus yang tak kunjung ada habisnya dalam hal pemberantasan Korupsi di Indonesia, sebab bagi seseorang yang ingin mencalonkan menjadi anggota parlemen untuk didaerah saja dibutuhkan dana min 100 juta rupiah, bagi yang tidak memiliki modal akan berhutang dengan pemilik modal dan biasanya perusahaan. Simbiosis antara pemilik modal dengan anggota parlemen berdampak sangat buruk dikarenakan disana malah nantinya akan timbul kongkalikong yang tidak benar yang berujung pada mafia-mafia dan timbulnya korupsi besar-besaran dengan mengeruk kekayaan alam atau yang bernilai ekonomis lainnya secara illegal yang dibekingi oleh parlemen atau aparat lainnya.
KESIMPULAN
            Inti dari permasalahann yang dialami negeri kita adalah kebodohan rakyatnya yang masih luas, kesadaran penduduknya akan memilih calon pemimpin bangsa hanya didasarkan dengan “siapa yang memberi uang dia yang kami pilih” dan hasilnya adalah parlemen yang terbentuk sangat tidak berkualitas dan terkesan hanya antek dari kelompok tertentu tanpa ada punya kesadaran untuk melihat bangsa ini lebih luas kedepan dengan tantangan yang semakin sulit. Satu contoh yang jelas terlihat ketika kita meratifikasi tentang perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN dan China, namun Pemerintah tidak mempersiapkan sarana dan prasarana yang memadai, akhirnya apa, Negara kita merengek untuk penerapan Free Trade Area antara Negara Asean dengan China diundur.
Satu hal yang menggelitik terjadi didepan muka kita, belum lagi penjualan saham PT Krakatau Steal kepada public yang syarat keanehan, dimana industry baja strategis Negara bukannya di jaga malah dilepas ke public dimana mayoritas pemodalnya adalah asing, aturan yang dibuat Parlemen dengan system multi partai di Indonesia syarat kepentingan asing dan kelompok karena banyaknya kejanggalan dalam rumusan pasalnya, kita bisa lihat dalam aturan menyangkut Penanaman Modal Asing (PMA) sangat Eksplisit (gamblang) syarat kepentingan asing.
SARAN DAN KRITIK
            Mayoritas penduduk Indonesia berada dikelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan rata-rata sederajat SMA atau sejenisnya, bagi pendidikan Sarjana hanya menempati dibawahnya, dilihat dari kenyataan ini, secara argumentasi bisa dibaca kenapa pendidikan politik di Negara ini masih sangat jauh dari yang diharapkan dan pembodohan dengan politik mobilisasi massa masih sangat efektif, masyarakat tidak memahami akan arti penting dalam memilih wakil-wakilnya dimasyarakat seperti apa dikemudian hari, karena hasilnya tidak bisa dirasakan seketika sama halnya ketika adanya money politik untuk menarik pemilih.
            Sudah semestinya system pendidikan di Indonesia untuk dirubah, pendidikan adalah kunci dari kemajuann suatu bangsa, ketika mayoritas penduduknya cerdas maka sudah dapat dipastikan kemajuan Negara akan tercapai, sedangkan wajib belajar di Negara kita hanya sebatas sampai SMA atau sejenisnya. Dan pendidikan tentang Pemilu hanya didapat pada saat kita kuliah, itupun hanya pada fakultas-fakultas tertentu terutama fakultas sosial, maka saya sebagai mahasiswa menyarankan kepada pemerintah untuk merubah kebijakannya dengan melakukan pendidikan menyangkut Pemilu dan Parpol sedari kita menapaki Sekolah Menengah Atas(SMA) atau sejenisnya. Begitu pula dikampus-kampus tidak terlepas itu fakultas eksak maupun Ilmu Sosial. Kemajuan bangsa hanya bisa terjadi jika sedari hulu (awal) proses yang terbentuk terjadi secara wajar, legal dan bertanggung jawab maka kedepannya adalah terbentuknya parlemen yang mumpuni dan Pemerintahan yang kuat dan stabil.















DAFTAR PUSTAKA
Ø  UUD 45 Amandemen ke 4.
Ø  UU no 2 tahun 2011 tentang Kepartaian.

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar disini, diharapkan gak pake nama samaran cuy..., biar qt akrab gitu...