LATAR BELAKANG
Menurut seorang penulis Profesor sejarah di Universitas
Nasional Singapore M.C Ricklefs mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “
Sejarah Indonesia Modern”, berisikan tentang keadaan Indonesia pada khususnya
dan umumnya Nusantara secara keseluruhan dalam konteks bangsa serumpun.
Indonesia Negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945 setelah kekalahan Jepang pada perang dunia ke 2 dengan dijatuhkannya Bom
Atom di Nagasaki dan Hiroshima, menjadi semacam momentum bagi para golongan
muda untuk “memaksa” pada golongan tua mendeklarasikan kemerdekaan Republik
ini, singkat cerita Peran pemuda dalam hal ini adalah mengantarkan Indonesia
menjadi Negara yang berdaulat.
Memahami Indonesia tidak terlepas dari himpunan kerajaan
yang dahulunya mendiami Negara ini, Dahulu kita mengenal 2 kerajaan nusantara yang
sangat kuat, di bagian barat kita mengenal Kerajaan Sriwijaya (Svarnabumi) yang
terletak di Wilayah Palembang, kita mengenalnya pada hari ini, dan Kerajaan
Majapahit(wilwatikta) yang sangat terkenal Maha Patihnya yakni Maha Patih Gajah
Mada dengan Sumpah Palapa (Amukti Palapa), Kerajaan ini dulunya terletak di
sekitar wilayah Mojokerto.
Dua Kerajaan inilah yang memiliki kekuasaan hingga hampir
diseluruh Negara Asia Tenggara jika hari ini kita mengenalnya, bersatunya kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit tidak terlepas dari ada ikatan kekeluargaan(Pernikahan)
ketika Pasukan Singasari melakukan Expedisi Pamalayu.
Singkat kata kita tidak melihat itunya akan tetapi dalam
hal ini kita melihat dari segi cara Kepemimpinan Maha PAtih Gajah Mada yang
menggunakan system Kepemimpinan yang Tunggal dan tertutup, beliau hanya meminta
pendapat dari orang-orang kepercayaannya dalam menjaga luasnya kekuasaan
Nusantara yang telah dia taklukan.
Dalam beberapa Periode tertentu setiap Negara (Kerajaan,
pen) di-“Paksa” untuk mengirimkan Upeti sebagai bentuk kesetiaan dan tunduk
pada kekuasaan pusat jika tidak ingin ditumpas kerajaannya, tidak hanya seperti
itu, Raja mereka atau orang kedua dari Kerajaan bawahan untuk menyembah atau
menghormati Raja Majapahit layaknya rakyat mereka sendiri menghormati dirinya.Symbol-simbol
inilah sebagai bentuk system pemerintahan yang Otoriter jika kita mengenalnya
pada hari ini.
PEMBAHASAN
Sistem
Pemerintahan di Indonesia
A.
Masa Parlementer
Bangsa ini pernah mengalami masa dimana kekuasaan
terletak pada satu orang saja (Otoriter), begitu juga pada Parlemen dan
akhirnya kembali kepada rakyat meskipun tidak sepenuhnya, ketika kita mengurai
satu-satu system pemerintahan yang tadi kita jabarkan mungkin kita akan menemukan
permasalahan disana yakni ketika kita mengalami system pemerintahan Parlementer
pada Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI,
NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa
kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer.
System
parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam
pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat
menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Ciri-ciri pemerintahan parlementer
adalah sebagai berikut:
1.
Badan legislatif adalah satu-satunya
badan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
2.
Anggota
parlemen terdiri dari orang-orang dari partai politik yang menang dalam pemilu.
3.
Pemerintah atau kabinet terdiri atas
para mentri dan perdana mentri sebagai pemimpin cabinet.
4.
Kabinet bertanggung jawab kepada
parlemen dan dapat bertahan selama mendapat mayoritas suara dari parlemen.
5.
Kepala negara tidak sealigus sebagai
kepala pemerintahan.
6.
Sebagai imbangan parlemen dapat
menjatuhkan kabinet, kepala negara dapat membubarkan parlemen.
System
Parlementer ini sempat terjadi di era orde lama Kepemimpinan Presiden Soekarno,
ketika banyak yang mengganggap Pemilu tahun 1955 sebagai Pemilu Pertama dan
Terakhir secara demokratis di Indonesia seperti yang dinyatakan oleh Jeffry
Winters ketika itu pemilu di Indonesia di ikuti oleh 40 peserta Partai Politik
dan hanya beberapa Parpol yang memenangkan “pesta rakyat” tersebut yakni
Masyumi, PKI, NU, PNI yang silih berganti memimpin menjadi Perdana Menterinya,
namun dikarenakan masih tidak stabilnya system ini untuk dianut di Indonesia
berakibat pada sering terjadinya Mosi Tidak Percaya terhadap Perdana Menteri
sehingga praktis setiap PM baru yang tunjuk tidak dapat menjalankan
kebijakannya secara baik. Hal ini yang mengakibatkan kala itu Kepala Negara
Republik Indonesia yakni Presiden Sukarno untuk membubarkan Parlemen melalui Dekrit
5 Juli 1959 menandai berakhirnya masa Demokrasi Parlementer dan beralih
kepada masa masa demokrasi terpimpin.
B.
Masa Totaliter
Setelah turunnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 kekuasaan Parlemen melalui partai politik mulai dikurangi,
Presiden pula lewat dekrit tersebut mengangkat dirinya sebagai Panglima
tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, mengangkat dirinya sebagai
Presiden selama seumur hidup dan pada masa itu Presiden Sukarno memperkenalkan
Ideologi Politiknya yang sangat terkenal yakni NASAKOM
(Nasionalis,Agamis,Komunis ) dengan Partai yang merepresentasikannya yaitu
berturut-turut Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdathul Ulama (NU), Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Disini meskipun pada
masanya Sukarno belum sempat berbuat banyak dengan Ideologi Politiknya kita
mengenalnya dengan system Pemerintahan Otoriter walaupun dengan kurun waktu
yang sangat singkat dikarenakan peristiwa 5 tahun setelah terbitnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yaitu Pemberontakan yang dimotori PKI dengan Tentara
“Disersir”nya pada tanggal 30 September 1965 yang sering kita mengenalnya
G30S/PKI. Pada peristiwa tersebut para Jenderal ditangkapi dan akhirnya
di”eksekusi” dengan tujuan ketika para
Jenderal di Tanah Air ini dibunuh maka akan terjadi Vacuum off Power sehingga
terjadi kegoncangan Politik ketika rantai komando tertinggi terputus maka siapa
saja yang mempunyai system komando pada saat itu secara efektif bisa saja
dengan mudah mengambil kekuasaan dan praktis PKI dengan pasukannya bisa saja
pada masa itu mengambil alih kepemimpinan, namun kebiasaan pada tingkat
kemiliteraan ketika pusat komando tertinggi tidak ada maka pada waktu itu
Presiden Sukarno dengan Surat Perintah 1 Maret (Supersemar), untuk
mengembalikan kondisi keamanan melalui Panglima Kostrad yang pada waktu itu
dipegang oleh Brigadir Jenderal Soeharto, mengambil kebijakan dengan Perintah
pertama yaitu membubarkan Parta Komunis Indonesia dan menganggap sebagai partai
terlarang, menumpas habis pengikut-pengikut Komunis hingga ke akar-akarnya.
Dan setelah keadaan
dianggap pulih kembali lewat manuver politiknya, Suharto yang memegang
kekuasaan melalui Supersemar itu
menggulingkan kekuasaan Sukarno dan mengasingkan dirinya di Istana hingga ajal
menjemput. Akhir kata mulailah era Suharto yang memimpin Negeri ini 32 tahun
mendatang dengan system Pemerintahan Demokrasi terselubung Otoriter dengn
jumlah Parpol yang disederhanakan menjadi hanya 3Parpol saja.
C.
Masa Presidensiil
Sebenarnya pada masa
Sukarno setelah adanya Dekrit 5 Juli 1956 adalah masa Presidensil meskipun
singkat, karena pada masa itu Presiden mempunyai hak Prerogatif mutlak, dan
begitu pula pada masa Suharto system Presidensil juga mengalami kejayaannya,
karena pada masa ini kewenangan Presiden hanya dibatasi oleh Parlemen yang
hanya terdiri dari 3 Parpol dimana Partai Pendukungnya menempati suara
mayoritas di Parlemen sehingga Praktis segala kebijakan Presiden minim hambatan
dari parlemen.
Agar
lebih memahami system Presidensiil ini adalah sebagai berikut Ciri Umumnya.
a. Sistem
presidensial hanya terjadi dalam negara berbentuk republik.
b. Dalam
sistem presidensial fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan menyatu
(namun tidak lebur) dalam satu figur, Presiden.
c. Kepala
Negara (KN) dan Kepala Pemerintahan dijabat oleh Presiden. KN adalah simbol
representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu
yang bersifat kenegaraan.
d. Kekuasaan
pemerintahan adanya di eksekutif/kabinet yang dipimpin Presiden selaku Kepala
Pemerintahan. Maka, dalam sistem presidensial, obyek utama yang diperebutkan
adalah presiden.
e. Selaku
pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat.
(Presiden dipilih rakyat bukan dipilih partai). Selaku kepala negara, Presiden
adalah milik bangsa, maka tidak layak bila memangku jabatan ketua atau
fungsionaris partai.
f. Presiden
membentuk kabinet yang bertanggung jawab pada presiden. Dalam sistem
presidensial tidak dikenal istilah kabinet koalisi. Karena jumlah anggota
parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen
diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai.
g. Parlemen
(legislatif) dalam sistem presidensial memiliki dua fungsi utama. Pertama,
menterjemahkan “Kontrak Sosial” presiden menjadi undang-undang (perdebatan
bukan pada pro-kontra Kontrak Sosial melainkan pada upaya mempertajam program).
Sistem presidensial tidak mengenal istilah Partai Oposisi.
h. Peran
partai tidak dominan, kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan
publik. Sistem presidensial biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Lemah”
(Bambang Cipto, 1996: 41)
Pada
masa orde baru Suharto berusaha untuk melakukan penyederhanakan Parpol dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Dan
kita mengenal menurut pendapat Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul,
“Factors in a Two-Party and Multiparty System,” dalam Party Politics and
Pressure Groups (New York: Thomas Y. Crowell, 1972), Orde Baru menggunakan
system kepartaian seperti ini selama kepemimpinan Suharto yang kadang membuat
pengertian system partai tunggal menjadi partai dominan, lebih lanjut jelasnya
akan dibahas di Bab selanjutnya.
Dasar
Negara Indonesia
I.
SISTEM KETATANEGARAAN
INDONESIA
Menurut UUD 1945
sistem ketatanegaran Indonesia adalah sebagai berikut:
a.
Bentuk negara adalah kesatuan.
b.
Bentuk pemerintahan adalah republic.
c.
Sistem pemerintahan adalah
presidensill.
d.
Sistem politik adalah demokrasi atau
kedaulatan rakyat
1.
Bentuk Negar Kesatuan
Dalam UUD 1945 ditetapkan bahwa
bentuk susunan negara Indonesia adalah kesatuan. Dasar penetpanya terdapat pada
Pasal 1ayat (1)UUD 1945 yang menyatakan ”Negara indonesia ialah negara
kesatuan, yang berbentuk republik”.
Secara teri ada dua klarifikasi
bentuk negara yaitubentuk negara serikat da bentuk negara kesatuan. Bentuk
negara federal adalah bentuk negara yang bersusunan jamak terdiri dari beberapa
negara bagian. Jadi dalam negara federal terdapat dua pemerintahan yaitu
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian yang memiliki derajat yang
sama.
Negara kesatuan adalah negara yang
bersususnan tunggal. Didalam negara kesatuan, kekuasaan mengatur seluruh daerahnya
ada di tangan pemerintah pusat. Dalam kenyataannya, kekuasaan untuk mengatur
seluruh urusan pemerintahan dilakukan dengan dua cara yaitu asas sentralisasi
dan asas desentralisasi. Negara kesatuan dengan asas sentralisasi berarti
kekuasaan pemerintahan itu dipusatkan di pemerintah pusat.sedangkan negara
kesatuan dengan asas desentralisasi berarti peerintahannya menjauh dari
kekuasaan yang berada pusat ataudengan kata lain kekuasaan berada di daerah.
Negara Indonesia sebagai negara
kesatuan menganut asas desentralisasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal UUD
1945 perubahan kedua.
2.
Bentuk Pemerintahan Republik
Dalam psal 1 ayat (1)UUD 1945
menetapakan bahwa bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik.
Secara teoritis, ada dua klasifikasi
bentuk pemerintahan di era modern yaitu bentuk pemerintahan republik dan bentuk
pemerintahan monarki atau kerajaan. Perbedaan diantara keduanya adalah dari
cara pangangkatan kepala pemerintahannya apabila pemerintahan republik
pengankatannya berdasarkan pemilihan sedangkan pemerintahan monarki pengankatan
kepala pemerintahannya melalui pewarisan atau turun temurun.
Bentuk pemerintahan negara indonesia
pernah berubah menjadi negara serikat pada tahun 1949-1950 akan tetapi bentuk
pemerintahan negara Indonesia tidak pernah berubah menjadi negara monarki.dan
sekarang ini bangsa Indonesia sepakat bahwa perihal bentuk pemerintahan negara
adalah republik dan tidak akan ada perubahan sesuai pasal 37 ayat (5) naska UUD
1945 perubahan keempat.
3.
Sistem Pemerintahan Presidensill
Sesuai dengan ketentuna dalam UUD
1945, indonesia menganut sitem pemerintahan presidensiil. Secara teoretis,
sistem pemerintahan dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu sistm
pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil.
Sistem pemerintahan parlementer dan
presidensil didasarkan hubungan antara kekuasaan eksekutif dan
legislatif.apabila badan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan
legislatif adalah sistem pemerintahan parlementer sedangkan sistem pemerintahan
presidensiil badan eksekutif berada di luar pengawasan badan legislatif.
Ciri-ciri pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
Ø Badan legislatif adalah satu-satunya badan yang dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum.
Ø Anggota parlemen terdiri dari orang-orang dari partai
politik yang menang dalam pemilu.
Ø Pemerintah atau kabinet terdiri atas para mentri dan perdana
mentri sebagai pemimpin cabinet.
Ø Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan
selama mendapat mayoritas suara dari parlemen.
Ø Kepala negara tidak sealigus sebagai kepala pemerintahan.
Ø Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet, kepala
negara dapat membubarkan parlemen.
Dalam sistem pemerintahan
presidensil, badan eksekutif dan badan legislatif memiliki hubungn yang
independen mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensiil adalah
Ø Penyelenggaraan negara berada di tanggan presiden.
Ø Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden.
Ø Presiden bertanggung jawab kepada parlemen.
Ø Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Ø Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga
perwakilan.
Ø Presiden tidak berada dalampengawasan langsung parlemen
Gambaran akan sistem pemerintahan di
Indonesia dinyatakan dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (1)
Pasal 5 ayat (1)
Pasal 5 ayat (2)
Pasal 6A ayat (1)
Pasal 7C
Pasal 10
Pasal 11 ayat (1)
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 17 ayat (1) dan (2)
Pasal 19 ayat (1)
Pasal 2 ayat (1)
Pasal 20 A ayat (1)
Secara teoretis sistem pemerintahan presidensiil
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sistem pemerintahan
presidensiil adalah sebagai berikut.
1)
Badan eksekutif lebih stabil
kedudukannya karena tidak bergantung pada parlemen.
2)
Masa
jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
3)
Penyusunan program kerja kabinet
mudah disesuaikan deganjangka waktu masa jabatannya.
4)
Legislatif bukan tempat kaderisasi
untuk jabatan jabatn eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk
anggota parlemen sendiri.
Kelemahan sistem pemerintahan
presidensiil
1)
Kekuasaan eksekutif berada di luar
pengawasan langsung legislatif sehigga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
2)
Sistem pertanggungjawabannya kurang
jelas.
3)
Pembuatan keputusan/ kebijakan
publik umumnya hasil tawar menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga
biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasil kurang tegas.
4)
Kelemahan utama dari sistem
pemerintahan persidensii adalah kecendrugan kekuasaan eksekutif atau presiden
yang mutlak.
Oleh karena itu diadakan beberapa ketentuan dalam UUD 1945.
1)
Presiden sewaktu-waktu dapat
diberhentikan MPR atas usul DPR.
2)
Presiden dalam mengangkat pejabat
negara pelu pertimbangan dan/atau DPR.
3)
Presiden dalam mengeluarkan
kebijakan tertentu, perlu mempertimbangkandan/atau persetujuan lembaga lain seperti
DPR, MA dan MK.
4)
Parlemen diberi kekuasaan lebih
dalam hal membentuk Undang-Undang dan hak budget.
5)
Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi memiliki hak judicial review.
Dengan adanya mekanisme tersebut
maka antar lembaga negara dapat saling mengendalikan dan mengimbangi sat dengan
yang lain.
4.
Sistem Politik Demokrasi
Sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD
1945 sistem politik yang dianut oleh Negara Indonesia adalah sistem politik
demokrasi.hakikat demokrasi itu adalah kekuasaan dalam negara berada di tangan
rakyat.
Secara teoretis, klasifikasi sistem
politik di Indonesia terbagi dua sistem politik demokrasi dan sistem politik
otoritarian.
Pembagian atas sistem politik
demokrsi dan sistem politik otoriter ini didasarkan atas:
Ø Kewenangan pemerintah terhadap
aspek-aspek kehidupan warganya;
Ø Tanggungjawab pemerintah terhadap warga Negara
Sistem
politik disebut otoriter apabila kewenangan pemerintah terhadap kehidupan
warganya amat luas, mencangkup hampir semua aspek kehidupan. Adapun sistem
politik disebut demokrasi apabila kewenangan pemerintah terhadap kehidupan
warga negaranya amat terbatas. Lebih jauh dari itu sistem politik dikatakan
demokrasi apabia menganut sistem demokrasi dalam penyelenggaraan bernegara. Secara
normatif sistem politik demokrasi yang dianut di Indonesia didasarkan
nilai-nilai bangsa yaitu Pancasila.
5 Sistem
Kepartaian di Dunia
1. Nirpartai (Non-Partisan)
Dalam sebuah sistem nirpartai, tidak ada partai politik yang
eksis, dan sering kali itu merupakan wujud dari peraturan perundangan yang
melarang adanya partai politik. Misalnya di dalam rezim monarki absolut,
diktatur personal, maupun pemerintahan militer. Namun, sistem nirpartai tidak
hanya terdapat dalam sistem otoritarian saja, tetapi di negara liberal pun
dapat terjadi gejala nirpartai.
Pemilihan umum dalam sistem nirpartai, dengan demikian,
setiap kandidatnya dipilih berdasarkan kualitas pribadinya sendiri. Dalam
legislatif nirpartai, tidak ada anggota dewan yang memiliki kaitan dengan
partai secara formal. Contohnya, pemerintahan di bawah pimpinan George
Washington di awal kemerdekaan Amerika Serikat, yakni di sesi-sesi awal Kongres
AS bersifat nirpartai.
Washington juga menunjukkan penentangannya terhadap partai
politik dalam pidato perpisahannya. Legislatif unikameral di negara bagian
Nebraska adalah satu-satunya badan pemerintah negara bagian yang nirpartai di
AS dewasa ini. Banyak kota dan pemerintah kecamatan di AS juga bersifat
nirpartai. Di Canada, badan legislatif di Wilayah Barat-daya (Northwest
Territory) dan Nuvanut adalah nirpartai.
Pemilihan yang dan cara memerintah yang nirpartai biasanya
di luar lembaga negara. Terkecuali terdapat larangan undang-undang terhadap
pendirian partai, faksi-faksi di dalam sistem nirpartai kadang kemudian berubah
menjadi partai politik.
2.
Ekapartai dominan (Single dominant party)
Dalam sistem ekapartai, satu partai politik saja yang secara
sah dibolehkan untuk memegang kekuasaan efektif. Meskipun partai-partai lain
yang kecil-kecil mungkin kadang-kadang diperkenankan eksis, mereka disyaratkan
secara legal untuk menerima kepemimpinan partai dominan tersebut.
Partai ini bisa tidak selalu identik dengan pemerintah,
walaupun kadang posisi-posisi di dalam partai menjadi lebih penting ketimbang
posisi di dalam lembaga pemerintah. Negara komunis, seperti Cina sebagai
contohnya; lainnya terdapat di negara Fasis seperti Jerman jaman Nazi (Hitler)
antara 1933-1945. Sistem ekapartai (partai tunggal) dengan demikian biasanya
disetarakan dengan kediktatoran dan tirani.
Dalam sistem partai dominan, partai-partai oposisi diijinkan
eksis, dan boleh jadi sistem itu juga menerapkan tradisi demokratik secara
mendalam, namun partai-partai oposisi itu diatur sedemikian rupa agar tak
mempunyai kesempatan yang nyata untuk meraih kekuasaan. Kadang kala kondisi
politik, sosial, dan ekonomi, serta pendapat umum dijadikan alasan bagi
kegagalan partai-partai oposisi itu. Kadang pula ciri khas di negara-negara
dengan tradisi demokrasi yang lemah memungkinkan bagi adanya partai dominan
yang akan memegang kekuasaan secara terus-menerus menggunakan patronase dan
sering kali menggunakan kecurangan dalam pemilihan umum. Pada kasus yang
terakhir ini, perbedaan definisi antara sistem partai tunggal (ekapartai)
dengan partai dominan menjadi agak kabur.
Contoh sistem partai dominan adalah People’s Action Party di
Singapura dan African National Congress di Afrika Selatan. Satu partai dominan
juga eksis di Mexico. Dengan Partido Revolucionario Institucional
(Institutional Revolutionary Party) sampai tahun 1990-an, di Amerika Serikat
bagian selatan, Partai Demokrat seperti itu pula dari abad ke-19 hingga tahun
1970-an, dan di Indonesia dengan Golongan Karya (Party of the Functional
Groups) dari awal tahun 1970-an sampai fajar era reformasi 1998.
3.
Sistem Dwipartai dominan (Two dominant parties)
Sistem dwipartai misalnya yang eksis di Amerika Serikat dan
Jamaica yakni di mana ada dua partai politik dominan sampai tahap tertentu
ketika dukungan bagi partai selain yang dua itu sangat sulit diperoleh. Satu
koalisi sayap kanan dan satu koalisi sayap kiri merupakan wujud ideologi yang
paling lazim di dalam sistem seperti itu tetapi di dalam sistem dwipartai
biasanya partai-partai politik secara tradisional merupakan partai raih semua
(catch-all party) yang ideologinya luas dan terbuka.
Inggris Raya juga merupakan negara yang luas diakui
bersistem dwipartai, yang dalam sejarahnya kekuasaan bergilir antara dua
kekuatan politik utama (saat ini Partai Buruh dan Partai Konservatif), tetapi
Partai Demokrat Liberal dan sejumlah partai lain serta kelompok independen juga
mempunyai kursi di Parlemen Inggris.
Sistem pemilihan plural seperti di Amerika Serikat biasanya
juga menjadikan sistem dwipartai. Hal ini dikemukakan oleh Maurice Duverger
yang kemudian disebut sebagai hukum Hukum Duverger.
4.
Nekapartai (Multiple parties)
Sistem multpartai atau nekapartai adalah sistem kepartaian
di dalam mana antara lebih dari dua partai terjadi persaingan dalam kompetisi
meraih kekuasaan politik.
Canada, India, Republik Irlandia, dan Inggris Raya adalah
contoh-contoh di mana terdapat dua partai kuat, dengan sebuah partai ketiga
yang dalam pemilihan juga mendapatkan dukungan relatif kuat. Partai “ketiga”
ini bisa jadi kadang menjadi nomor dua dalam pemilihan umum, dan menampakkan
ancaman bagi kedua partai lainnya, tetapi masih saja tidak pernah memimpin
pemerintahan. Partai seperti itu khususnya berpengaruh ketika dukungan atau
penentangannya dapat meneruskan atau mengakhiri seuah pemerintahan minoritas.
Finlandia merupakan kasus yang jarang, di mana sebuah bangsa
dengan tiga partai yang secara rutin sama-sama memegang pucuk pemerintahan.
Sangat jarang bagi sebuah negara memiliki lebih dari tiga partai yang semuanya
secara kasar memiliki kesempatan setara membentuk pemerintahan. Sementara itu,
Colombia secara tradisional memiliki sistem dwipartai yang agak kaku, tetapi
setelah pemilu tahun 2002, sistem kepartaiannya mengalami perubahan penting.
Yang lebih lazim lagi, dalam kasus di mana terdapat tiga
atau lebih partai, yang tak satu partai pun dapat mencapai kekuasaan sendiri,
dan kemudian meraka bersama-sama membentuk pemerintahan koalisi. Ini merupakan
kecenderungan yang sedang naik daun di Republik Irlandia dan hampir selalu
seperti itu di Jerman pada level nasional dan negara bagian, serta di sejumlah
daerah. Gambaran yang sering muncul dari pemerintahan koalisi adalah rapuh dan
mudah mengalami perubahan cepat dan cenderung kurang stabil.
5.
Sistem Nekapartai Berimbang (Balanced multiple party systems)
Sebuah studi yang luas dan melibatkan simulasi dan jajak
pendapat oleh Donald Arthur Kronos, telah menunjukkan bahwa sistem dwipartai
yang efektif sebagaimana berlaku di Amerika Serikat saat ini dapat dimodifikasi
menjadi sistem pemilihan pluran berimbang melalui penambahan pilihan “suara
negatif” untuk secara lebih baik menunjukkan niat para pemilih.
Ini berbeda dari sistem pengambilan suara baku atau sistem
pemilihan anti-pluralitas di mana lebih dari sekadar membolehkan pemilih
memilih siapa yang hendak didukung atau membolehkan memilih siapa yang tidak
didukung, menjadi sebuah sistem berimbang di mana pemilih dibolehkan memilih
siapa pun kandidat yang akan didukungnya dan siapa yang tidak didukungnya.
Dalam kasus pemilihan berkisaran (range voting) berimbang seseorang pemilih
dapat menentukan kombinasi suara mendukung dan menolak darinya terhadap sispa
pun kandidatnya.
Masalah yang ada dalam sistem pemilihan plural tradisional
adalah bahwa upaya apapun untuk mencegah seorang kandidat untuk terpilih
cenderung menghasilkan suatu nilai suara positif palsu, yakni umumnya bagi
seorang kandidat yang berpikir untuk memiliki posisi yang lebih menguntungkan
ketimbang kandidat lainnya, yang kemudian berupaya meningkatkan
keberuntungannya tersebut.
Suatu pemilihan plural berimbang akan membolehkan pemilih
untuk menunjukkan suara penolakan sejati (true negative vote), dengan demikian
dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi adanya suata positif yang palsu.
Suatu sistem nekapartai berimbang secara signifikan akan mengurangi keanehan
yang terjadi karena seorang kandidat yang dikenal luas namun tidak populer
(baca: tidak pro-rakyat) memenangi pemilihan, dengan membolehkan siapa pun yang
menentangnya untuk memberi suara yang lebih tepat ketimbang memilih di dalam
sistem tak berimbang yang hanya mengijinkan suara dukungan saja atau penolakan
saja.
Jumlah suara setiap pemilih bukanlah faktor dalam sistem
yang diseimbangkan, tetapi supaya adil seharusnya konsisten di dalam suatu
pemilihan yang diperuntukkan semua pemilih. Hal ini juga mempuyai efek
matematis untuk menghilangkan feedback loop (umpan balik berulang-ulang) yang
apabila tidak demikian akan memberikan sebuah keuntungan yang tidak adil
sepanjang waktu kepada kedua partai tersebut. Feedback loop ini terjadi di
dalam sistem pemilihan plural ketika seorang pemilih berupaya menunjukkan suatu
suara negatif (menolak kandidat tertentu) namun yang tersedia hanya pilihan
positif (mendukung kandidat tertentu).
Maka pemilih itu dipaksa untuk mengevaluasi pilihan-pilihan
yang tersedia dan menentukan apa yang paling baik untuk mengurangi keanehan
kemenangan kandidat yang ditentangnya. Sebagai contoh, karena sejarah suatu
partai mungkin memberi sejumlah indikasi kebisaterpilihan (elektabilitas)
seorang kandidat yang didukung oleh partai itu, maka hal terdekat untuk menentangnya
dalam pemilihan umum akan berupa suara untuk kandidat partai tersebut yang
diyakini oleh pemilih itu telah menang di sebagian pemilihan umum dalam
sejarahnya. Jika kandidat yag ditentang itu maju di partai yang sama, maka
pilihan yang jelas kandidat partai berikutnya yang paling sering menang dalam
sejarah pemilihan.
Hal ini menyebabkan hanya dua partai yang memiliki kelayakan
untuk dipilih sekali sejarah telah tercipta bagi mereka. Suatu sistem pemilihan
berimbang akan menghilangkan feedback loop ini dan akan menguntungkan bagi
pemilih. Konsep sistem pemilihan berimbang ini dapat diterapkan untuk banyak
tipe sistem pemilihan termasuk sistem pilihan ganda dan dapat diterapkan pula
untuk pilihan plural dan sistem perwakilan proporsional.
Golkar
dalam system Ekapartai dominan (Single
dominant party)
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya
G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima
kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No
XXXIII/1967 pada 22
Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto
kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno.
Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto
menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968)
pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai
Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan
pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan
Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli
Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali
Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto,
Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Adalah langkah yang paling penting yang diambil Suharto demi
mengamankan posisi kekuasaannya secra legal dan stabil yaitu dengan mengambil
kebijakan di bidang Politik dengan Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga
pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik
di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang
menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik
dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun
dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana
muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai
utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun
berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga
terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk
partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam
yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam
(Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Sejarah singkat keberadaan partai Golkar yang lahir dan
digunakan oleh rezim Suharto dalam memuluskan perjalanan tampuk kekuasaannya
selama 32 tahun menjabat, Golkar yang secra praktis menjadi kendaraan politik
dan partai pendukung pemerintah disetiap kebijakan yang dikeluarkan, Golkar
oleh Pemerintah dijadikan partai yang dominan dan menguasai lebih dari 50%
suara melalui dukungan dari para Pegawai Negeri Sipil (PNS), ABRI (dulu masih
memiliki hak Politik), maupun perangkat Pemerintahan hingga ketingkat Desa bahkan
Dusun diseluruh Indonesia.
Pada masa itu meskipun Pemilu kita mempunyai azas “LUBER
JURDIL” (langsung, umum, bebas, rahasi, jujur dan adil). Tapi sekali lagi
bagaikan pameo yang sering terjadi adalah Dassein yang selalu bertentangan
dengan Das Sollen, sebagai contoh ketika seorang PNS memilih Parpol yang itu
bukanlah Golkar maka dia pun akan dipanggil oleh atasannya untuk diberi
peringatan yang secara tidak langsung tekanan psikologis akan mempengaruhi sang
PNS tersebut. Selain itu juga beberapa hari sebelum hari H pemilihan suara
biasanya Pimpinan lembaga Negara berboyong-boyong mengumpulkan pegawainya
disuatu aula dan disana sudah disiapkan “sosialisasi” pemilihan umum dengan
Doktrinisasi untuk memilih partai Golkar.
Jadi menurut penulis system Pemilu yang digunakan Indonesia
pada masa Orde Baru adalah cenderung system ekapartai Dominan (single dominant
party), Suharto juga membangun basis intelejen yang dibentuknya baik Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkaptib) dan Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin) bahkan ketika Ali Murtopo disingkirkan dari kepemimpinan
Bakin, Sumitro yang memegang kendali Panglima Komkaptibpun dipecat dan langsung
dipegang oleh Suharto karena beliau menganggap mengancam kekuasaan dirinya.
Kekuasaan yang tak terbatas
dimiliki Suharto pada saat itu yang membuat kepemimpinannya cenderung Otoriter,
dengan memegang kendali diseluruh lini kehidupan. Namun setelah pengunduran
dirinya pada tanggal 21 mei 1998 dengan sebelumnya didahului banyak
peristiwa-peristiwa penting demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan
militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam
pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan
salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Di
Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden
Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
Sejak beberapa waktu
terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita,
terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap
aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu
dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan
dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah
menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet
Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite
Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang
memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan
reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak
dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet
Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan
di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas
pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan
pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya
memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI
terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari
jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan
DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8
UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan
melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan
dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya
ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan
kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila
dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet
Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih.
Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah
di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang
juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Tak lama lama
berselang Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal
TNI Wiranto atas nama Institusi yang dipimpin olehnya menyatakan sikap
mendukung Presiden BJ Habibie, berakhirnya rezim Suharto namun tetap melindungi
dan menjaga kehormatan dan keselamatan keluarga Cendana setelah lengsernya
kekuasaan Suharto.
Reformasi yang lahir
tanpa arah
Berakhirnya
rezim Suharto adalah kemenangan besar bagi perlawanan kediktatoran di Negeri
ini, eforia Negara ini akan keterbukaan dan kebebasan menggema di se-antero
negeri, timbullah banyak ide-ide akan bagaimana system ketatanegaraan akan
terbentuk selanjutnya, banyak UU yang dicabut yang dibuat setelah tumbangnya
rejim Suharto tapi hingga kinipun hasil yang didapat dari reformasi tidak lebih
baik dari masa orde baru, system multypartai yang membuat kekuasaan Presiden
melalui hak Prerogatifnya menjadi tidak Presidensiil karena dibatasinya ruang gerak
Presiden dengan system yang aneh dimana menganut Presidensiil tapi dengan
multypartai mau tidak mau presiden harus berkoalisi sedangkan dalam system
presidensiil semestinya tidak mengenal dengan istilah koalisi karena istilah
ini hanya dikenal jika kita menggunakan system parlementer.
UU
no 2 tahun 2011 merupakan perubahan dari UU no 2 tahun 2008 tentang Kepartaian
tidak merubah secara signifikan tentang prubahan system kepartaian di
Indonesia, karena semangat yang dibangun dari UU ini adalah syarat dengan
kepentingan Politik Kekuasaan semata, demi menyelamatkan kedudukannya di
kekuasaan.
UU
yang baru ini masih memungkinkan adanya atau terbentuknya partai-partai baru
dengan system multipartai. Padahal semenjak Indonesia terbebas dari Rezim
Otoriter di era orde baru system multipartai tidak terbukti dapat menjawab
problematika saat ini, parpol yang terbentuk lewat system ini menyebabkan
“kualitas” parlemen yang terbentuk melalui system multipartai ini masih sangat
mengecewakan, dan cenderung malah menjadi kroni mafia yang terorganisis dalam
kekuasaan.
Indonesia
masih jauh dari sikap kedewasaan public akan Pemilu karena system multi partai
ini menimbulkan ketidak stabilan politik sehingga kita tidak jarang melihat
“dagelan-dagelan” politik atas nama rakyat padahal hanya untuk demi menjaga
kepentingan setiap parpol yang ikut dalam koalisi dapat terpenuhi.
Masyarakat
disini juga dibodohi, kantong-kantong kemiskinan adalah sarana yang ampuh dalam
menjaring suara sebanyak-banyaknya, politik pragmatism dengan melakukan money
politics masih jamak dilakukan setiap adanya pemilihan baik di pusat maupun
didaerah. System mobilisasi masa dengan panggung-panggung hiburan dengan
disertai orasi menjadi alat utama meskipun tidak berarti mengangkat
elektabilitas voters, karena disini uang yang bermain, rakyat akan memilih jika
ada yang bayar. Dan hasilnya adalah biaya tinggi untuk membentuk suatu parlemen
atau pergantian pemerintahan (Suksesi Pemerintahan).
Ini menjadi
siklus yang tak kunjung ada habisnya dalam hal pemberantasan Korupsi di
Indonesia, sebab bagi seseorang yang ingin mencalonkan menjadi anggota parlemen
untuk didaerah saja dibutuhkan dana min 100 juta rupiah, bagi yang tidak
memiliki modal akan berhutang dengan pemilik modal dan biasanya perusahaan.
Simbiosis antara pemilik modal dengan anggota parlemen berdampak sangat buruk
dikarenakan disana malah nantinya akan timbul kongkalikong yang tidak benar
yang berujung pada mafia-mafia dan timbulnya korupsi besar-besaran dengan
mengeruk kekayaan alam atau yang bernilai ekonomis lainnya secara illegal yang
dibekingi oleh parlemen atau aparat lainnya.
KESIMPULAN
Inti
dari permasalahann yang dialami negeri kita adalah kebodohan rakyatnya yang
masih luas, kesadaran penduduknya akan memilih calon pemimpin bangsa hanya didasarkan
dengan “siapa yang memberi uang dia yang kami pilih” dan hasilnya adalah
parlemen yang terbentuk sangat tidak berkualitas dan terkesan hanya antek dari
kelompok tertentu tanpa ada punya kesadaran untuk melihat bangsa ini lebih luas
kedepan dengan tantangan yang semakin sulit. Satu contoh yang jelas terlihat
ketika kita meratifikasi tentang perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN dan
China, namun Pemerintah tidak mempersiapkan sarana dan prasarana yang memadai,
akhirnya apa, Negara kita merengek untuk penerapan Free Trade Area antara
Negara Asean dengan China diundur.
Satu hal yang
menggelitik terjadi didepan muka kita, belum lagi penjualan saham PT Krakatau
Steal kepada public yang syarat keanehan, dimana industry baja strategis Negara
bukannya di jaga malah dilepas ke public dimana mayoritas pemodalnya adalah
asing, aturan yang dibuat Parlemen dengan system multi partai di Indonesia
syarat kepentingan asing dan kelompok karena banyaknya kejanggalan dalam
rumusan pasalnya, kita bisa lihat dalam aturan menyangkut Penanaman Modal Asing
(PMA) sangat Eksplisit (gamblang) syarat kepentingan asing.
SARAN DAN KRITIK
Mayoritas
penduduk Indonesia berada dikelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan
rata-rata sederajat SMA atau sejenisnya, bagi pendidikan Sarjana hanya
menempati dibawahnya, dilihat dari kenyataan ini, secara argumentasi bisa
dibaca kenapa pendidikan politik di Negara ini masih sangat jauh dari yang
diharapkan dan pembodohan dengan politik mobilisasi massa masih sangat efektif,
masyarakat tidak memahami akan arti penting dalam memilih wakil-wakilnya
dimasyarakat seperti apa dikemudian hari, karena hasilnya tidak bisa dirasakan
seketika sama halnya ketika adanya money politik untuk menarik pemilih.
Sudah
semestinya system pendidikan di Indonesia untuk dirubah, pendidikan adalah
kunci dari kemajuann suatu bangsa, ketika mayoritas penduduknya cerdas maka
sudah dapat dipastikan kemajuan Negara akan tercapai, sedangkan wajib belajar
di Negara kita hanya sebatas sampai SMA atau sejenisnya. Dan pendidikan tentang
Pemilu hanya didapat pada saat kita kuliah, itupun hanya pada fakultas-fakultas
tertentu terutama fakultas sosial, maka saya sebagai mahasiswa menyarankan
kepada pemerintah untuk merubah kebijakannya dengan melakukan pendidikan menyangkut
Pemilu dan Parpol sedari kita menapaki Sekolah Menengah Atas(SMA) atau
sejenisnya. Begitu pula dikampus-kampus tidak terlepas itu fakultas eksak
maupun Ilmu Sosial. Kemajuan bangsa hanya bisa terjadi jika sedari hulu (awal)
proses yang terbentuk terjadi secara wajar, legal dan bertanggung jawab maka
kedepannya adalah terbentuknya parlemen yang mumpuni dan Pemerintahan yang kuat
dan stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
UUD 45
Amandemen ke 4.
Ø
UU no 2
tahun 2011 tentang Kepartaian.
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar disini, diharapkan gak pake nama samaran cuy..., biar qt akrab gitu...